Setelah tiba di halaman terakhir buku itu, saya menarik nafas panjang. Penerbangan kurang lebih 80 menit Kupang-Tambolaka di Nusa Tenggara Timur, Minggu, 16 Juni 2019 silam itu adalah saat terakhir buku Jokowi Menuju Cahaya habis kulumat.
Tidak seperti buku-buku lain, buku setebal 382 halaman ini memunculkan kuriositas yang begitu mendesak untuk segera dihabiskan.
Dan, heeemm...... Saya menarik nafas panjang sesaat sebelum kru pesawat mengumumkan tidak lama lagi pesawat segera mendarat di Bandar Udara Tambolaka, Sumba Barat Daya.
Inilah bandar udara di mana pesawat Adam Air mendarat darurat karena 'tersesat' di udara dalam penerbangan Jakarta-Makassar, Sabtu, 11 Februari 2006 silam.
Tentang Jokowi, anak desa yang meroket menembus jagat Indonesia hingga menjadi presiden itu, sudah banyak ditulis di sejumlah buku dengan beragam judul. Tetapi terhadap buku ini sebetulnya ada dua hal yang mendesakku membacanya. Pertama, ingin tahu apa lagi konten/isi, juga sisi mana lagi yang mau dibidik untuk jadi fokus tulisan tentang Jokowi.
Bagiku, tentang Jokowi tidak harus dan tidak perlu lagi ditulis dalam buku. Riwayat perjalanannya, sepak terjangnya dari Solo ke DKI Jakarta, kemudian menuju Istana Negara meraih tangga puncak di republik ini sebenarnya adalah sebuah buku yang sudah sangat jelas menguraikan siapa sejatinya Jokowi.
Titian perjalanannya sendiri adalah 'buku harian' yang saban hari dengan mudah disimak dan dibaca oleh rakyat negeri ini. Lalu sekarang ada buku lagi berjudul Jokowi Menuju Cahaya? Ini alasan pertama.
Alasan kedua, saya ingin tahu bagaimana sang penulis, Alberthiene Endah, menulis tentang Jokowi. Saya ingin tahu, dan bahkan ingin merasakan getaran gaya bahasa, kekuatan pilihan kata yang digunakan si penulis buku ini. Saya ingin menangkap nuansa dari rangkaian kata, kalimat dan halaman-halaman di buku ini.
Dan, ketika tiba di kata terakhir buku itu saya berdecak kagum. Luar biasa penulis buku merangkai kata, menarik makna, menunjukkan konteks dan membiarkan pembaca menangkap pesan dan kesan sendiri.
Proficiat untuk sang penulis, Alberthiene Endah. Jurnalis perempuan yang memulai kariernya di Mingguan Hidup Jakarta ini memang hebat.