Publik di Indonesia kembali diramaikan oleh berita dugaan kasus korupsi yang dilakukan salah satu petinggi partai politik. Meski baru dugaan, kasus korupsi ini kembali menyadarkan kita, betapa bangsa Indonesia masih keteteran mengatasi korupsi.
Padahal, setiap kali partai politik atau politisi berkampanye, janji yang sering kita dengar, "Jika kami berkuasa, tidak akan melakukan korupsi, bahkan kami akan ikut memberantas korupsi".
Diksi kampanye seperti ini diutarakan berulang-ulang, sehingga kita berasumsi atau setidaknya menaruh harapan, kalau partai itu atau orang dari partai itu berkuasa, pasti tidak akan melakukan korupsi.
Judul tulisan di atas bukan dimaksudkan untuk menggiring opini, bahwa hal muskil mengikis korupsi di Indonesia, karena korupsi nyaris sudah "membudaya" di Indonesia. Tapi untuk menegaskan, betapa sulitnya menerka masa depan, baik yang menyangkut masa depan individu, masyarakat, apalagi bangsa.
Mengapa sulit meramal masa depan? Paul Davies dalam bukunya Other Worlds, Menukil teori quantum. Dia mengatakan, kehidupan kita tidak dikuasai oleh hukum alam, tetapi oleh deretan probabilitas.
Akar probabilitas itu berbeda dengan penjelasan asumsi lama, yakni adanya "chaos" dalam dunia sub atomik, sehingga tingkah laku elektron itu sebenarnya tidak bisa diprediksi. Elektron digambarkan sebagai manusia yang berkehendak, dan memiliki sifat volutional seperti malas dan ogah-ogahan untuk bergerak, atau sebaliknya.
Ketika dunia sub atomik menjelma dalam tingkah laku benda yang menjadi lingkungan hidup manusia, maka hidup manusia itu sesungguhnya diliputi ketidakpastian tentang masa depannya.
Penjelasan di atas hendaknya membuat manusia mawas diri, tidak terlalu percaya diri (over confident), atau merasa sudah memiliki kepastian akan masa depan. Bahwa, masa depan atau esok hari pasti akan sesuai dengan apa yang sudah dirancangnya. Bahwa, janji yang diucapkannya pasti akan dipenuhinya.
Dalam konteks ini pula kita mesti memahami ucapan Nadiem Makarim, Mendiknas yang mengatakan gelar tidak menjamin kompetensi, kelulusan tidak menjamin kesiapan berkarya, dan akreditasi tidak menjamin mutu.
Sinyalemen ini bukan harus diartikan institusi pendidikan (universitas) tidak penting, tapi sebagai dorongan bagi kampus dan mahasiswa agar pandai membaca tanda-tanda zaman dan mau berubah agak tetap relevan dengan tuntutan zaman. Kampus bukan sarana mentransfer ilmu, dan kuliah bagi para lulusan SMA sebagai sarana "gagahan" atau sebagai kepantasan belaka bagi anak-anak kelas monegan.
Menarik ucapan Davies, "rigidity is a myth" (kepastian adalah mitos). Karena itu katanya hukum kausalitas dapat dipegang hanya karena manusia tidak dapat menembus batas cahaya dan berjalan di atas kecepatan cahaya.
Jauh sebelumnya, delapan abad yang lalu Al-Gazhali mengatakan adanya kemungkinan penyimpangan dari hukum kebiasaan, hukum alam, atau Sunnatullah karena adanya "Intervensi" Tuhan.