[caption caption="Ilustrasi: Istimewa"][/caption]
Penelitian di Amerika Serikat membuktikan pola perilaku yang sama ketika orang memutuskan untuk memilih sesuatu. Hal ini bermanfaat bukan hanya diterapkan di dunia marketing tapi juga politik.
Sebentar lagi iklim politik kita akan semarak menyusul akan digelarnya Pilkada Serentak. Bisa dipastikan tim sukses masing-masing calon pasangan akan mengerahkan semua kemampuannya untuk memenangkan calon yang diusung. Bukan tidak mungkin parta-partai pengusung akan menyewa konsultan politik yang sejatinya melakukan aktivitas yang lazim dilakukan di dunia pemasaran, seperti riset konstituen, riset elektabilitas calon yang diusung dan calon lain yang menjadi kompetitor, menentukan positioning calon, menyusun materi kampanye, hingga pemilihan media untuk beriklan (media placement).
Praktik marketing politik di Indonesia mulai ramai sejak runtuhnya rezim orde baru. Liberalisasi politik yang melahirkan multi partai dan pemilihan langsung (Pilpres dan Pilkada) membuat peserta pemilu (partai politik, calon legislatif, calon presiden, calon kepala daerah) memasuki baru baru, yakni era kompetisi yang sesungguhnya. Mirip dengan yang terjadi di dunia bisnis, dimana setiap merek (layanan dan jasa) bersaing untuk mendapatkan konsumen dan pelanggan.
Seberapa dekat marketing dengan politik? Jonah Berger dalam bukunya “Contagious” Rahasia di Balik Produk dan Gagasan Yang Populer", memaparkan hasil eksperimen peniliti musik Adrian North, David Hargreaves, dan Jennifer McKendrick. Eksperimen tersebut untuk mengetahui bagaimana musik yang diperdengarkan di supermarket memengaruhi perilaku belanja.
Ketika musik Perancis dimainkan, kebanyakan pembeli memilih wine dari Perancis. Ketika musik Jerman diputar, kebanyakan pembeli membeli wine buatan Jerman. Menurut Jonah dengan memicu konsumen untuk berpikir tentang negara-negara lain, musik berpengaruh terhadap penjualan produk tertentu. Musik membuat gagasan-gagasan yang berhubungan dengan negara tersebut lebih mudah diakses, dan gagasan yang mudah diakses itu ikut memengaruhi perilaku.
Eksperimen di atas membuktikan bagaimana sebuah pemicu bisa menimbulkan perilaku tertentu. Hasil penelitian di ranah politik ternyata menyiratkan hal yang sama, dimana pemicu bisa mengarahkan perilaku pemilih. Seperti di Indonesia, pemilu di Amerika Serikat juga diselenggarakan di sarana publik seperti gedung pemadam kebakaran, pengadilan, sekolah, atau gereja. Yang mencengangkan, ternyata gedung tempat pemungutan suara ikut menentukan perilaku pemilih.
Jonah dan kawan-kawan melakukan penilitan terhadap hasil pemilu tahun 2000 di Arizona. Penilitian difokuskan pada pemungutan suara untuk menentukan usulan menaikan pajak penjualan dari 5,0 persen menjadi 5,6 persen guna mendukung pendanaan sekolah-sekolah negeri. Prakarsa ini telah menjadi perdebatan yang hangat.
Hasilnya di gedung sekolah yang menjadi TPS, jumlah suara yang mendukung prakarsa pendanaan sekolah angkanya 10 ribu lebih tinggi dibandingkan gedung-gedung lain yang menjadi TPS. Temuan lain, pemilih yang tinggal dekat sekolah dan ditentukan untuk memilih di gedung sekolah versus pemilih yang tinggal dekat sekolah tapi harus memberikan suara di tempat lain. Persentase orang yang memilih di sekolah dan mendukung kenaikan dana untuk pendidikan secara signifikan lebih tinggi. Dalam kasus ini gedung sekolah menjadi pemicu orang untuk memilih kenaikan dana pendidikan.
Pada kasus Indonesia kita bisa memahami mengapa menjelang hari pencoblosan KPU (Komisi Pemilihan Umum) sebagai penyelenggara Pemilu memerintahkan semua partai politik membersihkan berbagai atribut (bendera partai, spanduk/selebaran kampanye, foto kandidat), karena dikhawatirkan akan memengaruhi pilihan orang ketika masuk ke dalam bilik suara, meskipun di kepalanya sudah ada calon yang akan dicoblosnya. Dalam kontek di atas, berbagai atribut tersebut dikhawatirkan menjadi pemicu yang mengarahkan pilihan orang saat pencoblosan di dalam bilik suara.
Marketing Politik