Lihat ke Halaman Asli

Catatan Usang Tentang Angkot dan Metro Mini

Diperbarui: 10 Agustus 2015   13:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Supir Metromini"][/caption]

 

Setelah sekian tahun tidak naik angkutan umum, beberapa hari ini saya kembali menggunakan angkutan umum. Saya kembali menggunakan jasa angkutan umum karena tangan saya retak setelah mengalami kecelakaan. Kalau dihitung-hitung hampir 10 tahun lebih saya tidak menggunakan angkutan umum. Sebagai jurnalis selama ini saya mengandalkan sepeda motor. Sementara kalau kebetulan berpergian dengan keluarga saya mengandalkan taksi.

Mengapa saya memilik taksi? Anak saya tiga, dua masih kecil. Jika naik angkutan umum berarti hitungannya 5 penumpang, dikalikan Rp4000 per pernumpang, berarti sekali jalan saya harus merogoh kocek Rp20 ribu . Bayangkan kalau saya harus tiga kali ganti angkutan umum, berarti saya mesti mengeluarkan ongkos Rp60 ribu. Cukup mahal bukan? Maka saya lebih memilih taksi dengan menambah ongkos Rp15 – Rp20 ribu sekali jalan. Ongkos tambahan tersebut hitung-hitung “membeli” kenyamanan yang ditawarkan taksi.

Sekian tahun meninggalkan angkutan umum ada yang berubah dan ada yang tidak berubah? Yang berubah tentu saja angkutan umum sepi penumpang, bahkan di jam-jam sibuk sekalipun. “Dahulu anak sekolah sering ditinggalkan, sekarang anak sekolah ditungguin,” begitu pengakuan salah satu supir angkot yang saya tumpangi. Masa keemasan angkutan umum memang sudah berlalu. Era kredit motor membuat banyak penumpang beralih menggunakan motor, termasuk anak sekolah dan ibu rumah tangga.

Perubahan lain, sekarang banyak angkutan yang tidak lagi memakai kernet. Kalau angkot tanpa kernet mungkin biasa, tapi beberapa kali saya naik metromini 69 jurusan Ciledug – Blok M tanpa kernet, jadi ketika penumpang turun mereka langsung membayar ke supir. Yang cukup berisiko adalah supir menarik ongkos ketika sedang lampu merah. Ini saya alami ketika metromini 69 yang saya tumpangi kedapatan lampu merah di perempatan CSW - Blok M. Lampu merah diperempatan tersebut memang cukup lama. Sang supir rupanya telah berhitung cermat, dia harus selesai menarik ongkos sebelum lampu berubah menjadi hijau.

Namun profesi kernet rupanya belum lenyap di Jakarta. Yang berganti hanya gendernya saja. Beberapa kali saya mendapati kernet metromini perempuan. Terlepas dari ketiadaan alternatif mencari sumber penghasilan, salut bagi perempuan yang mau menggeluti profesi yang identik dengan debu jalanan ini.

Yang tidak banyak berubah tentu saja tampilan fisik dan pelayanan angkutan umum. Metromini tetap saja berwarna merah, meskipun ada beberapa metromini yang mencoba keluar pakem dengan menggunakan cat warna abu-abu. Penampilan sang supir juga tetap kucel. Kursi-kursi tetap fiber glass dan berwarna merah. Di perempatan jalan selalu saja ada pengamen dan pengasong yang keluar masuk. Anda tahu sendirilah jika bus penuh kedatangan mereka cukup menganggu.

Angkutan umum, terutama angkot masih saja doyan ngetem. Ini yang sangat menyebalkan dari angkot sejak zaman beheula. Meski menggerutu, hati kecil saya memakluminya. Bayangkan, sudah ngetem saja penumpang yang naik paling banter hanya 3 – 4 orang. Berarti sekali jalan supir hanya mengantongi Rp12 ribu – Rp16 ribu. Itu juga kalau semua penumpang membayar full, karena masih ada penumpang yang tidak mau membayar full dengan alasan jaraknya yang diitempuk dekat.

Di era digital yang menuntut kecepatan dan efisiensi memang mengenaskan jika ada pekerjaan/profesi yang tidak bisa memberikan kedua hal tersebut kepada konsumennya. Pertanyaan menggelitik, bisakah angkutan umum seperti angkot dan metro mini dimodernisasi seperti ojek. Seperti kita tahu Gojek sukses memodernisasi ojek melalu teknologi informasi.

Kesulitan angkot dan metromini jika akan meniru Gojek terletak pada kustomisasi. Dalam bisnis kustomisasi sangat dibutuhkan, terutama ketika persaingan mulai ketat dan loyalitas konsumen rendah. Kustomisasi sulit dilakukan pada angkot dan metromini, karena keduanya beroperasi dengan sistem trayek dan mengangkut banyak penumpang. Kustomisasi yang dimaksud adalah fleksibilitas, dimana penumpang kapan saja dari mana saja bisa naik angkot atau metromini, dan penumpang selalu terhubung dengan operator angkutan kapan dan dimana saja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline