Lihat ke Halaman Asli

Fobia Pandangan Politik Syiah?

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Isu Syiah ikut mewarnai hiruk pikuk kampanya pemilu Presiden beberapa waktu lalu, terutama di jejaring media sosial. Dalam sejarah pemilu yang tercatat paling ketat dan sengit--menampilkan pasangan Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK--isu Syiah muncul kepermukaan karena dua figur. Pertama, M Quraish Shihab, pengarang bukuSuni-Syiah Bergantengan Tangan! Mungkinkah?” dan Jalaludin Rakhmat, Ketua Dewan Syuro Ijabi (Ikatan Jemaah Ahlul Bait Indonesia) yang bermazhab Syiah.

M Quraish Shihab yang konon mendukung pasangan Jokowi-JK dan Jalaludin Rakhmat yang menjadi caleg dari PDIP, partai pengusung Jokowi-JK menjadi sasaran empuk kampanye anti Syiah di media sosial. Tentu saja imbasnya menerpa pasangan Jokowi-JK sebagai pasangan capres yang dituding mendapat sokongan dari Syiah. Bahkan sempat berhembus kabar jika pasangan Jokowi-JK memenangkan Pemilu Presiden, Jalaludin Rakhmat akan didaulat jadi Menteri Agama. Meski akhirnya praduga tersebut tidak terbukti.

Di media sosial isu yang muncul sebenarnya isu-isu lama, seperti masalah perbedaan fiqih. Mereka yang mengggap Syiah sesat karena perbedaan Syiah dengan Suni sudah taraf pada ushuluddin (ajaran pokok agama) bukan lagi furu’iyah (cabang-cabang agama). Sementara kelompok yang memandang Syiah masih menjadi bagian dari Islam, perbedaan antara dua mazhab hanya menyangkut hal-hal furu’iyah.

Berikut beberapa contoh perbedaan Suni-Syiah seperti yang dikemukakan M. Quraish Shihab dalam buku Suni-Syiah Bergantengan Tangan! Mungkinkah? Soal berwudhu, membasuh tangan bagi mazhab Syiah Istna Asyariyah harus memulainya dari siku ke bawah, berbeda dengan keempat mazhab (Syafii, Maliki, Hambali, Hanafi) yang menyatakan bahwa bagaimanapun cara yang dilakukan selama kedua tangan hingga siku telah tercuci, maka itu telah sah.

Soal Adzan dan Iqamat, Syiah Istna Asyariyah menambah dengan mengulangi dua kalimat Hayya’ Ala’ Khairil ‘Amal (marilah menuju aktivitas yang terbaik), karena menurut mereka ini telah diamalkan sejak masa Rasulullah, dan hanya diubah oleh Sayyidina Umar ra, dalam rangka mendorong masyarakat untuk berjihad, karena jika sholat dinilai aktivitas terbaik, boleh jadi penilaian itu menghambat kegiatan jihad. Di sisi lain, mereka tidak mengumandangkan kalimat assholatu khairun Min an Naum (sholat lebih baik dari pada tidur), dengan alasan bahwa itu tidak diamalkan oleh Nabi Saw. Kita tahu yang menambahkan kalimat tersebut salah satu sahabat Nabi, yakni Billal.

Soal Qunut, dalam pandangan Syiah Istna Asyariyah membaca qunut dianjurkan, bukan saja seperti mazhab Syafii, yakni pada sholat Subuh, tetapi pada sholat wajib maupun sholat sunnah harian. Perihal Zakat, pada prinsipnya tidak ada perbedaan antara Suni- Syiah Istna Asyariyah dalam hal kewajiban dan kadar zakat. Namun menurut pandangan Syiah Istna Asyariyah disamping zakat, masih ada kewajiban terhadap harta, yaitu khumus (seperlima). Khumus merupakan kewajiban bagi yang memperoleh berikut ini:

1. Harta rampasan perang terhadap non muslim

2. Barang tambang (emas, perak, besi, minyak, dan sebagainya)

3. Harta tersembunyi yang ditemukan di bawah tanah (apa saja)

4. Yang ditemukan di laut atau sungai (kecuali ikan)

5. Keuntungan usaha, bila melebihi kebutuhan seseorang dan keluarganya selama setahun.

6. Harta yang tercampur dan tak terpisahkan antara yang halal dan yang haram.

7. Tanah yang dibeli oleh seorang Zimmy (warga negara non muslim) dari seorang muslim

8. Khumus (seperlima) dari pendapatan atau harta-harta tersebut dibagi kepada enam bagian, yaitu mereka yang tersebut dalam QS. Al-Anfal (8):41, yaitu: “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan Ibnu Shabil (dengan syarat bahwa mereka adalah kerabat Nabi, karena mereka tidak dibenarkan mendapat zakat).

Merujuk pada perbedaan di atas, dapat dipahami jika ada kalangan yang menilai perbedaan Suni-Syiah, terutama Syiah Istna Asyariyah masih berada dalam wilayah furu’iyah (meskipun tidak semua perbedaan hukum fiqih diungkapkan di sini). Meminjam istilah almarhum Nurcholish Madjid, kedua pihak hanya “berebut surga”. Nurcholish Madjid menisbahkan ungkapan ini kepada kalangan yang meributkan hal-hal yang bersifat furu’iyah dalam praktik keagamaan di Indonesia. Seperti mana yang paling afdol Subuh dengan qunut atau tanpa qunut, boleh tidaknya tahlilan, atau boleh tidaknya tawasul.

Menurut saya yang awam, mengerasnya pertentangan antara Suni-Syiah sampai saat ini merupakan ekses dari perbedaan siapa khalifah yang paling absah setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw. Suni menganggap khalifah pengganti Nabi Saw adalah Abu Bakar Shidiq Ra dan akhirnya mengakui khalifah yang empat pengganti Nabi (Abu Bakar, Umar, Ustman Ali).

Di lain pihak Syiah menganggap Ali Ra yang paling berhak menggantikan Nabi sesuai dengan hadis Nabi Saw yang mereka yakini. Selanjutnya Syiah tidak mengakui khalifah yang tiga (Abu Bakar, Umar, Ustman) dan hanya mengakui kekhalifaan Ali Ra.

Suka atau tidak suka itu fakta sejarah umat Islam 14 abad yang lalu. Lalu bagaimana seharusnya sikap umat Islam? Menurut saya yang harus dikembangkan adalah sikap forgive but not forget. Kita harus mempelajari dan memahami babak sejarah tersebut, namun setelah itu harus forgive (memaafkan). Kita mempelajari sejarah bukan untuk saling mendendam dan menafikan, namun saling memaafkan dan merangkul untuk menyonsong masa depan. Menurut saya sungguh menyedihkan jika sampai saat ini kita masih mewariskan permusuhan dan dendam yang sudah berlangsung berabad-abad.

Saya curiga (semoga kecurigaan saya ini keliru), ketakutan Suni pada Syiah sebenarnya bukan pada segi-segi fiqih ritual agama atau praktik keagamaan, tapi hal-hal yang bersifat politik. Di bidang politik Syiah memang memiliki pandangan yang lebih radikal atau progresif dibandingkan Suni, terutama pembelaannya terhadap kaum tertindas.

Pandangan politik Syiah dipengaruhi oleh tokoh-tokoh yang mereka anggap sebagai figur sentral untuk mazhab mereka, seperti Sayidina Ali Ra dan Fatimah Azzahro Ra. Seperti dikutip dari buku “Sistem Politik Islam, Sebuah Pengantar” karangan Ali Asgar Nusrati, Fatimah dalam khotbahnya tentang filosofi kepemimpinan mengatakan, “dan Allah mewajibkan ketaatan (kepada Allah dan Rasulnya) agar menjadi tatanan bagi umat, mewajibkan adanya kepemimpinan agar menjadi pencegah perpecahan.”

Sayidina Ali dalam Nahj al-Balaghah menegaskan, “Kepemimpinan sebagai perantara untuk mengatur dan menata umat. Khalifah keempat ini juga pernah mengatakan,” Aku menerima pemerintahan karena meminta para ulama berjanji untuk tidak berdiam diri menyaksikan kerakusan dan penjarahan orang-orang zhalim serta kelaparan dan keterkucilan orang-orang tertindas.”

Ungkapan senada juga pernah dinyatakan Imam Khomeini, pendiri Republik Islam Iran, “Kita semua berkewajiban menolong rakyat tertindas, mendukung kaum tertindas, dan menjadi musuh bagi kaum yang zalim.

Pandangan Imam Ja’far Shadiq yang sering menjadi rujukan kaum Syiah juga menyiratkan progresivitas Syiah di bidang politik. Menurut Imam Ja’far Shadiq Islam didirikan atas lima perkara; sholat, zakat, haji, puasa, dan wilayah (kepemimpinan). Salah seorang muridnya Zurarah bertanya,”Manakah yang paling utama di antara lima perkara itu? “Beliau menjawab,”Wilayah lebih utama, karena wilayah adalah kunci bagi perkara-perkara yang lain, dan wali (pemimpin) adalah pemberi petunjuk bagi pelaksanaan perkara-perkara itu (sholat, zakat, haji, puasa).

Dari sini kita bisa menyimpulkan Syiah menawarkan pandangan yang progresif tentang politik. Namun ini sekaligus ini menjadi kelemahan di mata pengkritiknya dengan menganggap Syiah terlalu fokus pada politik dan kekuasaan.

Namun pandangan Syiah tentang politik dan kekuasaan bisa menjadi tawaran menarik di tengah iklim politik yang despotik dan demokrasi kapitalistik. Karena seperti pernah disampaikan William Liddle, pengamat politik Indonesia dari Amerika Serikat dalam sesi tanya jawab “Nurcholish Madjid Memorial Lecture”, demokrasi katanya bisa berjalan karena sistem kapitalis, namun ironisya kapitalis pula yang merusak demokrasi. Demokrasi yang seharusnya menjadi ruang bagi semua elemen, termasuk wong cilik untuk menyuarakan aspirasi mereka, justru dipersempit hanya menjadi ruang bagi pemilik modal untuk menyalurkan kepentingan mereka.

Walhuallam bi shawab

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline