Lihat ke Halaman Asli

Life Begins at Forty

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang kita panen hari ini merupakan hasil yang kita tanam di waktu lalu. Apa yang kita capai hari ini merupakan rangkaian sebab akibat yang kita lakukan di masa lampau. Life Begins at forty (hidup dimulai pada usia 40 tahun).Saya menulis artikel ringan ini setelah mendengar perbincangan dua teman saya. Yang satu bilang ungkapan tersebut hanya berlaku untuk karir. Yang satu keukeuh ungkapan itu juga berlaku berlaku untuk penampilan fisik

Dua-duanya bisa benar kalau kita menyaksikan fakta yang kerap kita jumpai. Banyak orang meraih sukses menjelang usia kepala empat. Tapi ini tidak datang ujug-ujug, karena dia memulai karir pada usia 25 tahunan. Wajar saja jika akhirnya meraih sukses dalam karir. Fisik pun sebenarnya bukan masalah. Banyak orang tetap di fit di usia 40 tahun, karena telaten menerapkan pola hidup sehat. Seorang wanita pernah mengatakan pada saya, bahwa ia menyukai pria berumur 40 tahunan. Uban yang bermunculan di kepala seorang pria katanya justru membuatnya makin dewasa dan seksi. Hmmmmm…

Umur Anda menjelang 40 tahun, atau sudah melewati, namun jauh dari gambaran di atas. Jangan kecil hati. Ada tawaran menarik dan menantang selain pencapaian karir dan kebugaran fisik. Inilah saat Anda menengok dan melayani kebutuhan spiritual Anda. Suatu kebutuhan yang barangkali sering kita lupakan, atau bahkan tidak pernah kita layani sepanjang hidup kita.

Memenuhi hasrat spiritual sebenarnya bukan sesuatu istimewa, ia merupakan bagian tak terpisahkan dari setiap manusia. Manusia selain sebagai makhluk yang bersifat fisik dan intelektual, juga sebenarnya makhluk spiritual. Jadi tepat sekali founding father bangsa kita menyerukan pembangunan jiwa dulu, baru fisik. Masih ingatkan syair Lagu Indonesia Raya: “Bangunlah Jiwanya, bangunlah raganya. Hiduplah Indonesia Raya.”

Sigmun Freud,seorang pakar psiko analisa membagi struktur pribadi seseorang menjadi tiga, yakni superego, ego, dan Id. Yang pertama sangat peka terhadap etika sosial sehingga menggerakan kesadaran untuk selalu berbuat kebajikan. Manisfestainya antara lain rasa malu, empati, dan berbagi. Sedangkan Id, kebalikan dari superego. Tidak mengenal moral dan etika, hanya mengejar kesenangan fisik dan psikis. Selalu ada pertentangan antara Superego dan Id. Untuk menengahi konflik keduanya, manusia harus mengoptimalkan peran ego.Ego lah yang akan mampu mendamaikan keduanya.

Analisis Freud jauh sebelumnya sudah dikemukakan oleh Al-Qur’an. Al-Qur’an membagi nafsu menjadi tiga, yakni la’ ammarah bi al-sui, nafsu lawwamah, dan nafsu muthma’innah. (Kommaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutika). Nafsu ammarah bi al-sui selalu mendambakan kesenangan sementara seperti Id, sehingga membawa dampak negatif. Sebaliknya nafsu muthma’innah ialah bisikan atau dorongan jiwa yang mengajak pada ketenangan batin dan keselamatan sosial, sebagaimana yang ditawarkan oleh superego.Sedangkan nafsu lawwamah berperan sebagai juru damai dan penasehat yang membuat keseimbangan.

Untuk melangkah ke kehidupan spiritual kita harus mengoptimalkan potensi Id atau nafsu lawwamah (versi Al-Quran). Banyak metode yang ditawarkan, seperti meditasi atau menarik diri dari hiruk pikuk kehidupan dunia. Nah, bagi penganut Muslm, sholat lima waktu merupakan jalan (thariqoh) mencapai titik keseimbangan antara tarikan superego (nafsu muthma’innah) dan Id (ammarah bi al-sui). Tuhan tidak meminta kita menarik diri dari keriuhan dunia secara permanen. Dia hanya meminta 5 kali dalam sehari. Kalau kita hayati gerakan-gerakan dan bacaan sholat. Intinya adalah kita 5 kali sehari memperbaharui komitmen kehambaan kita pada Tuhan (sholat diawali dengan Allahuakbar) dan komitmen kita pada nilai-nilai kemanusiaan (sholat diakhiri dengan salam). Inilah barangkali hikmah dari tujuan sholat untuk mencegah perbuatan keji dan mungkar.

Terus terang bukan pekerjaan mudah melayani kebutuhan spiritual. Karena godaan untuk menghamba pada materi, kekuasaan, dan kesenangan sesaat sangatlah besar. Saya pun belum mencapai apa-apa di bidang spiritual, baru pada tahap kesadaran dan keinsyafan untuk memulai. Perlu diingat melayani kebutuhan spiritual (ruhani) bukan berarti mengabaikan kebutuhan akan materi. Anda boleh saja mengejar karir di usia 40, namun sudut pandang Anda tentang materi dan hal-hal fisik harus dibelokan ke nilai-nilai kemanusiaan dan Ketuhanan Wallahualam bishawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline