Lihat ke Halaman Asli

Kunjungan Kerja Anggota Dewan, Efektifkah? Efisienkah?

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah cukup sering kita disuguhi berita mengenai anggota dewan yang melakukan kunjungan kerja. Mulai dari kunjungan kerja yang dilakukan di dalam negeri, hingga kunjungan kerja ke luar negeri. Mungkin kita masih ingat sebuah kejadian yang cukup lucu dimana anggota dewan dari negara kita berkunjung ke Australia ketika anggota dewan di sana sedang reses. Lalu buat apa? Banyak alasan yang diungkapkan oleh anggota dewan terkait kunjungan kerja. Pagi ini, saya membaca koran yang memberitakan mengenai kunjungan kerja anggota dewan Kota Surabaya, untuk kesekian kalinya dalam satu bulan terakhir. Dan saya kemudian tergelitik untuk menyusun tulisan mengenai seberapa efektif dan efisien kunjungan kerja yang mereka lakukan.

Bagi orang seperti saya dan mungkin kebanyakan masyarakat umum lainnya, tidak banyak mengetahui apa yang dihasilkan dari kunjungan kerja tersebut. Kita hanya tahu bahwa kunjungan kerja tersebut biasanya dilakukan untuk memperdalam pemahaman serta menjadi bahan pertimbangan dalam pembahasan perda yang akan dibahas dalam rapat anggota dewan. Namun kita tidak pernah tahu seberapa besar dampak/perubahan yang didapat dari kunjungan tersebut? Yang menjadi pertanyaannya adalah, apakah untuk menghasilkan sebuah perda yang berkualitas hanya bisa dilakukan dengan melakukan kunjungan kerja? Apakah tidak ada cara lain yang lebih efektif dan efisien untuk menghasilkan perda yang berkualitas? Mengutip dari berita yang tertulis dari koran Jawa Pos hari ini (di bagian Metropolis) ketua DPRD Surabaya saat ini, Wisnu Wardhana, mengatakan bahwa apa jadinya perda yang disahkan jika anggota dewan tidak melakukan kunjungan kerja. Sebegitu pentingkah kunker sehingga tidak bisa tergantikan?

Saya pribadi pernah mengalami sebuah pengalaman yang cukup lucu. Saya dan rombongan kecil saya yang terdiri dari enam mahasiswa, dua orang dosen serta dua orang rekan kami di kegiatan pendataan bangunan kuno yag pernah kami lakukan, berlibur bersama menuju Kota Malaka di Malaysia. Kami sudah merencanakan perjalanan liburan kami jauh-jauh hari dengan tujuan jalan-jalan dan belajar mengenai pelestarian kawasan cagar budaya di sana. Kami memilih kota tersebut karena Malaka sudah diakui Unesco sebagai World Heritage City. Kami pun telah menyusun perjalanan kami dengan berbagai agenda yang dibuat untuk memperkaya pengetahuan dan pengalaman kami di bidang pelestarian cagar budaya karena kami memang punya ketertarikan dalam bidang tersebut. Rombongan kami kemudian mendapatkan tambahan dua orang dari pegawai pemerintah sebuah kabupaten yang pernah bekerja sama dengan tim kami dalam pendataan aset bangunan kuno di daerah pemerintahan mereka. Namun, sangat disayangkan, selama di Malaka, mereka lebih banyak berpisah dengan kami karena punya agenda sendiri yaitu belanja. Kami sangat kecewa karena kami berharap mereka juga mendapatkan pengetahuan dan pengalaman mengenai pelestarian cagar budaya. Karena pada dasarnya, merekalah yang memiliki kepentingan dan tanggung jawab dalam pelestarian kawasan cagar budaya di kabupaten mereka. Kami hanya bisa membantu melalui kegiatan-kegiatan tertentu seperti pendataan yang pernah kami lakukan. Selebihnya, merekalah yang menjadi ujung tombak. Terlepas, apakah mereka berangkat dengan uang rakyat atau dengan uang pribadi, berangkat dengan surat tugas atau sedang mengambil cuti, tetapi sangat sia-sia rasanya bila melewatkan kesempatan tersebut. Apalagi, di Malaka kami bisa bertemu dengan seorang penggiat Heritage yang berhasil membawa Cheng Hoon Teng temple mendapatkan penghargaan dari Unesco dan bertemu dengan Badan Permuziuman Malaka yang memang mengurusi pelestarian kawasan cagar budaya di Malaka.

Potret tersebut mungkin saja tidak bisa mewakili kontroversi kunker yang saya angkat dalam tulisan ini. Namun ada keterkaitannya, yaitu masalah efektivitas dan efisiensi. Bila saja yang dilakukan selama kunker lebih banyak berlibur dan belanja, lebih baik kunker tidak dilakukan. Bila kunker yang dilakukan hanya rapat dan diskusi dengan instansi tertentu, lebih baik dilakukan dengan cara telekonferensi. Dengan begitu, biayanya bisa lebih hemat dan lebih efektif. Dan satu hal lagi yang lebih penting, jangan lupakan kalangan akademisi atau pakar. Akan jauh lebih baik bila pembahasan perda dilakukan dengan mereka karena mereka memiliki kapasitas keilmuan yang mampu membantu tergedoknya sebuah perda yang berkualitas.

Sekarang, tinggal bagaimana para anggota dewan menyikapi masalah ini. Kita sebagai masyarakat yang diwakili oleh mereka hanya bisa berharap yang terbaik.

Surabaya, 22 Februari 2012

*Kunjungi juga blog saya di http://tontoniton.blogspot.com/




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline