Kini selain Kompetisi Liga 1 sudah bergulir, publik sepak bola nasional juga sedang dimanjakan oleh gelaran Piala AFF U-16 2022.
Terlebih, Timnas Indonesia U-16 baru saja membikin publik Indonesia terbuai euforia lagi, pasalnya Garuda Belia, baru menang atas Tim Singapura U-16 (selevel SSB di Indonesia), setelah sebelumnya tampil tidak sesuai ekspetasi saat hanya mampu bikin 1 gol ke gawang Filipina U-16 yang levelnya juga seperti SSB di Indonesia.
Sengakarut EPA Liga 1
Selama ini, persoalan sepak bola akar rumput, baik menyoal wadah yang baku, kompetisi, dan regulasi pemain, semuanya terus dibikin abu-abu alias tidak jelas.
Akibatnya, saat Klub Liga 1 memiliki kewajiban harus menyiapkan tim U-14, U-16, dan U-18 untuk Kompetisi Elite Pro Academy (EPA), sudah bukan rahasia lagi, banyak Klub Liga 1 yang malah memanfaatkan situasi.
Bukannya menyiapkan Tim sendiri, dari pembinaan akar rumput di Klub, malah ada yang mencari keuntungan dengan menjual tiket U-14, U-16, dan U-18 kepada pihak lain, tampil dengan bendera Klubnya, tapi pihak yang saya istilahkan membeli tiket, bukan hanya menyiapkan tim dan anggaran seutuhnya, pihak pembeli tiket pun harus membayar kepada Klub Liga 1 yang tiket timnya dibeli.
Padahal, publik sepak bola nasional juga tahu, ada beberapa Klub Liga 1 yang membina pemain akar rumput seutuhnya di akademi yang dibuatnya. Bahkan, setiap pemain sesuai kelompok umur yang masuk dalam skuat Klub Liga 1 tersebut, mendapat kontrak dan bayaran dari Klub.
Tahun ini, berita seorang pemain harus membayar 20an juta demi dapat bergabung dengan Tim EPA salah satu Klub Liga 1, malah sudah beredar dari mulut ke mulut. Sementara, budaya seleksi terbuka baik yang dilakukan oleh klub Liga 1 demi mendapatkan secara instan pemain untuk skuatnya, juga malah terus mentradisi.
Enak sekali Klub Liga 1 yang demikian. Begitu pemain seleksi terbuka terpilih, pemain diminta untuk menghadap SSBnya untuk dibuatkan Surat Keluar, karena terpilih di Klub Liga 1 bersangkutan. Lebih dari itu, publik juga sudah tahu, seleksi terbuka yang dilakukan oleh makelar Klub, peserta seleksi pun dikenai biaya pendaftaran.
Tidak menanam, tidak menyiram, tidak merawat, tidak memelihara, tetapi maunya memetik. Malah, yang dipetik pun pakai dalih seleksi terbuka, bayar pendaftaran seleksi. Begitu terpilih, masih ada kewajiban minta Surat Keluar dari SSB yang telah menanam, menyiram, merawat, dan memelihara.
Wahai PSSI, dengan situasi penyiapan Tim EPA oleh Klub-Klub Liga 1 yang demikian dan banyak yang tidak beretika, apakah EPA masih layak digulirkan? Apa latar belakang, visi-misi, tujuan, sasaran EPA sudah dipatuhi oleh Klub Liga 1?