Lihat ke Halaman Asli

Supartono JW

Pengamat dan Praktisi

Maaf Bapak Presiden, Kapan Influencer atau Buzzer Provokator Ditindak?

Diperbarui: 8 Juni 2022   08:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Kompas.com


Sejak Litbang Kompas menerbitkan hasil survenya tentang vitalnya menindak tegas influencer atau buzzer porvokatif yang memperkeruh situasi untuk mencegah polarisasi yang meruncing sejak Pilpres 2019 di Harian Kompas, Senin (6/5/2022) pun dikutip oleh berbagai media massa lainnya, ternyata hingga detik ini, pemerintah nampaknya tetap tidak bergeming.

Sebelumnya, sebagai rakyat jelata, saya sudah berkali-kali menulis agar pemerintah menindak tegas para influencer atau buzzer porvokatif ini yang hidupnya hanya membuat keruh suasana, membuat perpecahan, nyinyir nantangin siapa saja yang tidak segerbong.

Di berbagai media massa dan media sosial, berbagai pihak dan masyarakat juga sangat gerah atas kehadiran dan keberadaan para influencer atau buzzer porvokatif ini, sampai pada akhirnya ada kejadian nyata,  salah satu sosok  yang selama ini dianggap influencer atau buzzer porvokatif digebuki massa yang sudah menunggu kemunculannya.

Tetapi pemerintah dengan petugasnya malah seolah melindungi para influencer atau buzzer porvokatif ini, padahal tindakan dan perbuatannya jelas-jelas telah melanggar Sila-Sila dalam Pancasila.

Sementara, pemerintah dan putugasnya, sangat mudah menangkapi dan memenjarakan pihak-pihak dan rakyat jelata yang dianggap membahayakan NKRI.

Kini, Litbang Kompas pun akhirnya melakukan survei atas keberadaan influencer atau buzzer porvokatif. Hasil survenya dapat ditebak. Tentu sesuai dengan apa yang selama ini diresahkan oleh rakyat.

Setelah survei Litbang Kompas, rakyat menunggu, apa yang akan dilakukan oleh pemerintah terhadap para influencer atau buzzer porvokatif karena dataya menunjukkan hasil pentingnya menindak tegas influencer atau buzzer porvokatif yang memperkeruh situasi untuk mencegah polarisasi yang meruncing sejak Pilpres 2019.

Luar biasa, ada sebanyak 87,8 persen responden yang terlibat dalam survei menyatakan hal tersebut.

"Tentu pemerintah memiliki instrumen untuk memilah mana yang provokatif mana yang tidak sehingga bisa memberi iklim yang kondusif bagi demokrasi," tulis peneliti Litbang Kompas Gianie, seperti dikutip dari Harian Kompas, Senin (6/6/2022).

Hasil survei lainnya, ada 90,2 persen responden yang meminta kedua kubu pendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pilpres 2019 diminta menahan diri untuk tidak saling berkomentar di media sosial yang dapat menimbulkan kebencian atau kemarahan.

Lalu, ada 84,6 persen responden meminta upaya lain, yaitu yang tergolong mudah dilakukan adalah mulai mengakhiri penggunaan istilah atau label "cebong" dan "kampret/kadrun" di dalam percakapan, baik di dunia maya atau dunia nyata.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline