Gaya hidupnya orang punya, banyak harta, tetapi miskin berderma. Yang miskin harta, ikut-ikutan gaya hidup orang punya. Itulah fenomena dan fakta, orang-orang yang miskin hatinya.
(Supartono JW.25042022)
Miskin hati itu, meski kaya harta, jangankan berbagi dengan orang lain, untuk dirinya sendiri saja kikir, bertabiat orang fakir, gayanya tajir.
(Supartono JW.25042022)
Tentu kita sering mendengar atau membaca atau melihat tulisan: "Kaya harta, tetapi miskin hati" atau "Sudah miskin harta, miskin hati".
Atas ungkapan itu, pantas rasanya saya/kita bersedih. Sebab, orang-orang yang memiliki tabiat itu, mungkin belum mendapatkan hidayah. Atau mungkin gagal dalam pendidikan di lingkungan keluarga mau pun lingkungan formal. Pun gagal dalam beragama.
Semoga, saya, keluarga saya, orang-orang yang dekat dan bersinggungan dengan saya, serta masyarakat pada umumnya, senantiasa dijauhkan dari sifat dan tabiat itu, kikir dan miskin hati.
Bila faktanya masih miskin harta, tetaplah kaya hati (pemurah). Bila faktanya sudah kaya harta, tetaplah kaya hati. Aamiin.
Wajib saya camkam! Kekayaan tidak selalu terkait dengan hal yang konkret, tapi terkait juga pada hal yang abstrak. Oleh sebab itu, bersyukur adalah wujud dari kaya hati yang menembus kualifikasi kaya harta. Kaya harta yang dapat membuat seseorang lebih meningkatkan keimanan kepada Allah, lalu dengan adanya harta tersebut seseorang lebih bersyukur dan digunakan untuk menyodaqohkan kepada yang lebih membutuhkan maka, akan muncul hal abstrak bernama kekayaan hati.
Orang yang kaya atau pun miskin harta, dan pandai bersyukur, dengan mendermakan hartanya kepada orang lain, adalah orang yang kaya hati. Bukan miskin hati (tak bersyukur dengan apa yang dimiliki, menjadi kikir).
Euforia Lebaran