Lihat ke Halaman Asli

Supartono JW

Pengamat dan Praktisi

Bila Cerdas, Cermat, dan Tangkas, Mengapa Licik?

Diperbarui: 1 Februari 2022   23:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Supartono JW


Jadilah sukses dan berhasil karena cerdas, cermat, dan tangkas, bukan karena licik. 

(Supartono JW.01022022)

Ilustrasi. Dalam permainan sepak bola, mulai dari akar rumput hingga Timnas senior, dengan tolok ukur penilaian individu pemain berdasarkan rapor teknik, intelegensi, personaliti, dan speed (TIPS), saya akan sangat mudah mengidentifikasi kompetensi TIPS para pemain. Ternyata untuk ukuran kecerdasan intelegensi, saya mudah sekali mengidentifikasi mana pemain yang cerdas, cermat, dan tangkas. Mana pemain yang masih polos alias belum cerdas, belum cermat, dan belum tangkas. Pun sangat mudah mengidentifikasi pemain yang licik. Sebagai contoh, pemain bisa disebut licik karena memajukan bola dari titik awal pelanggaran. Melakukan lemparan ke dalam, jauh dari titik awal bola ke luar lapangan, hingga melakukan diving demi menipu wasit untuk keuntungan timnya dll. Haruskah demi meraih kemenangan, menempuh cara licik? Bila setiap pemain memiliki nilai rapor TIPS yang sesuai standar kompetensi, maka kemenangan cukup didapat dengan modal TIPS yang ada, ditambah perjuangan dan kerja keras yang sportif. Dan, jangan juga bermain bola itu polos, tak cerdas, tak cermat, dan tak tangkas, maka akan jadi bulan-bulanan lawan tanpa harus ada unsur licik. (Supartono JW. 01022022)

Kelicikan dijadikan teladan. Itulah fenomena nyata yang terus tumbuh subur  di negeri nusantara, eh maksud saya Indonesia. Bagaimana sih deskripsinya?

(Maaf, sekadar mengenang, dalam berbagai artikel saya sudah fasih dan terbudaya menulis Indonesia dengan kata lain Nusantara. Tapi sekarang sebutan Nusantara sudah diperkecil cakupan maknanya oleh Presiden Jokowi, sebab Nusantara dijadikan nama calon IKN Baru Republik Indonesia).

Banyak orang bilang, mengapa yang licik-licik itu malah duduk jadi wakil rakyat di parlemen dan pemerintahan, sih? Lihat, sudah berapa banyak pemimpin daerah di Indonesia tertangkap tangan oleh KPK melakukan hobi dan tradisi korupsi? Dan, hobi-hobi yang amanahnya untuk kepentingan pribadi dan golongannya, oligarkinya, dinastinya, dll.

Apa bedanya para wakil rakyat itu dengan para orang-orang licik di bidang lain, yang pekerjaannya menipu, merampas, merampok, jahat dll hingga hak orang lain, barang, uang, tanah, dll berpindah ke tangan mereka dengan cara tak halal?

Cerdas, cermat, tangkas, licik

Mengapa orang-orang sampai menyebut wakil rakyat ada yang licik, bahkan disamakan dengan orang-orang yang pekerjaannya menipu, merampas, merampok, jahat dll? Tapi saat sampai tertangkap, para wakil rakyat yang licik, bisa tetap senyum-senyum di depan awak media atau layar televisi.

Sementara, para menipu, perampas, perampok, penjahat dll, bila tertangkap ada yang langsung dihakimi massa. Ada yang sampai meninggal karena dipukuli, dibakar, atau minimal bonyok, babak belur, bila pihak keamanan keburu datang menyelamatkan. Padahal, nilai kejahatannya tak seberapa bila dibandingkan kejahatan dan kelicikan para wakil rakyat yang kena OTT KPK.

Karenanya, ada istilah kejahatan kerah putih dan kejahatan rakyat jelata, tetapi  tetap saja berbeda kasta dalam cara penangkapan sampai hukuman. Meski, pada dasarnya sama-sama berlabel penjahat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline