Lihat ke Halaman Asli

Supartono JW

Pengamat dan Praktisi

Saat Lembaga Riset dan Teknologi Terkendali

Diperbarui: 5 Januari 2022   17:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Kompas.TV


Apakah benar, Sumber Daya Manusia (SDM) rakyat Indonesia di setting untuk tetap bodoh? Sehingga hingga menjelang usia Negara Republik Indonesia ke-77 di tahun 2022, pendidikan Indonesia tetap terpuruk dan tercecer dari negara Asia Tenggara, Asia, dan Dunia? Satu di antara tolok ukur maju dan berkembangnya peradaban bangsa, di tengah persaingan global adalah terletak pada bidang riset dan teknologi sebuah negara. 

Karenanya, banyak negara yang sampai memperkerjakan SDM asing dengan gaji besar, demi  riset dan teknologi di negara bersangkutan. Maka, bukan cerita baru, bila banyak SDM asli Indonesia, putra-putri bangsa Indonesia justru bekerja di bidang riset dan teknologi di negara lain karena berbagai alasan.

Kondisi ini bukan tak diketahui, bukan tak disadari oleh para pemimpin di NKRI, tetapi karena selama ini, mereka sibuk dengan urusan dan kepentingannya sendiri, aset bangsa berupa SDM unggul malah dibiarkan mengabdi kepada bangsa lain.

Mirisnya, di tengah persaingan global, saat Indonesia semakin dikenal sebagai bangsa yang terpuruk dalam pendidikan, terkenal sebagai bangsa pemakai produk asing, bangsa yang kurang kreatif dan inovatif, di awal tahun 2022, pemerintah malah bikin kebijakan langsung memicu perdebatan dan dianggap kontraproduktif. Sepertinya, lebih mengedepankan prioritas kepentingan kelompok, golongan, dinasti, dan oligarkinya, karena mengabdi kepada pemodal alias cukong.

Bagaimana tidak, di awal tahun ada gebrakan pembubaran Lembaga Eijkman.  Beberapa periset lembaga pun mengeluhkan penggabungan Eijkman ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) karena buntutnya, memecat sebanyak 80 persen periset tanpa pesangon.

Terang saja, para periset Lembaga tersebut yang umumnya honorer dengan pendidikan S1 dan S2 tak bisa langsung ikut bergabung di BRIN. Pasalnya, syarat
bergabung ke dalam BRIN, selain statusnya di Lembaga Eijkman telah pegawai negeri juga pendidikan S3. Bagi yang berpendidikan S3 tapi masih honorer dapat mengikuti tes CPNS atau PPPK pada 2021 lalu. Yang S1 dan S2, masih bingung.  

Buntut lainnya, muncul respons beragam di masyarakat, terlebih, Eijkman berperan penting dan strategis dalam situasi pandemi Covid-19 ini. Khusus untuk masalah SDM, apalagi bila menyimak sejarah Eijkman di bidang Riset Biologi Molekular ini, meleburnya ke dalam BRIN jelas menggiring opini publik. Seolah peleburan ini hanyalah rekayasa atau dalih menyingkirkan, bila mengingat sebelumnya sudah terjadi kasus pegawai KPK yang dibikin tak lolos TWK.

Masyarakat tak akan pernah lupa atas kasus pegawai KPK, dengan alasan ujian TWK beberapa penyidik senior di KPK disingkirkan. Karenanya, kini pun ada kesan menyingkirkan para peneliti dan ilmuwan yang kompeten di Republik ini dengan menggusur Lembaganya dan melebur ke dalam BRIN.

Sementara, masyarakat juga sangat paham bahwa struktur organisasi dari BRIN, sejak awal tidak bisa dipisahkan dari partai politik tertentu.

Reaksi publik

Setelah saya menyimak berbagai reaksi dari berbagai pihak di negeri ini, hingga Selasa, 5 Januari 2022, mulai dari sorotan para praktisi, pengamat, akademisi, hingga anggota DPR RI baik di media massa mau pun di televisi, saya simpulkan bahwa peleburan Eijkman seperti ada udang di balik batu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline