Berdebat, memberi kritik, saran, masukan itu ada teori dan pelajarannya, sebab bagi orang yang telah mengantongi ilmu berdebat, ilmu mengkritik, ilmu memberi saran, ilmu memberi masukan, dan sejenisnya, akan nampak jejak akademisnya, jejak pernah duduk di bangku sekolah dan kuliah, dan jejak ilmiah lainnya.
Karenanya, para akademisi, para ahli, para praktisi, para pengamat, dalam berdebat, memberi kritik, saran, dan masukan sesuai bidangnya masing-masing baik dalam diskusi atau tulisan artikelnya, tentu akan ada jejak struktur latar belakangnya, identifikasi masalahnya, tujuannya, sasarannya, solusi dan masukan alternatif pemecahan masalahnya, hingga kesimpulannya. Tidak asal njeplak.
Nyinyir jadi teladan sangat negatif
Sejak hadirnya media sosial (medsos) dan zaman digital, kini masyarakat bangsa ini benar-benar tak terkendali dalam berperilaku di medsos, khususnya dalam hal berdebat, memberi kritik, masukan, dan saran dalam semua hal.
Jangankan masyarakat yang belum mengenyam bangku pendidikan, masyarakat yang sudah terdidik saja mengabaikan tata krama berdebat, memberi kritik, saran, dan masukan sesuai teori keilmuan yang benar.
Sudah begitu, medsos bernama Twitter juga malah menjadi media yang seolah hanya untuk nyinyir bagi masyarakat di negeri ini. Sebab, setiap warganet mengepos Tweet, satu tweet maksimal 280 karakter.
Jelas tak cukup untuk membikin warganet lain menginterpretasi secara benar Tweet yang dimaksud. Kondisi Tweet yang terbatas hanya 280 karakter ini pun justru dijadikan peluang bagi pihak yang berkepentingan, memanfaatkan Twitter untuk memancing dan menggoreng isu, karena informasinya seolah jadi sepotong-potong.
Maka, jadilah medsos ini, khususnya meneladani masyarakat yang belum terdidik di semua kelompok umur untuk menjadi terampil nyinyir, cerewet tanpa memperhatikan teori ilmiah dan tata krama berkomunikasi dalam dunia maya. Sementara masyarakat yang sudah terdidik, memanfaatkan medsos untuk nyinyir sebagai pekerjaan dan dapat bayaran.
Di Republik ini, kini setiap saat ada beberapa warganet yang nyinyir di medsos terutama di Tiwtter dan bangga ketika nyinyirannya lantas diretweet, dikutip tweet, dan disuka oleh followers. Lalu, di kutip oleh berbagai media massa untuk dijadikan bahan gorengan berita.
Tak masuk akalnya, warganet dan media massa ini masih dibiarkan terus nyinyir dan menayangkan berita. Nampak mereka memang sengaja diberikan ruang oleh medsos bersangkutan dan media massanya juga sengaja dibebaskan, padahal dari setiap twitt dan pemberitaannya benar-benar hanya nyinyir, terus memancing kisruh dan mengancam perpecahan anak bangsa.
Malah warganet ini, mungkin menyadari bahwa dirinya sudah menjadi social justice warrior, atau lebih populer disebut SJW, yaitu pejuang keadilan sosial yang merujuk kepada seseorang yang aktif memperjuangkan keadilan sosial di Twitter, meski kondisinya terbalik dan hanya menjadi sumber masalah bagi masyarakat.