Lihat ke Halaman Asli

Supartono JW

Pengamat dan Praktisi

Melangkah Usai Bulan Penuh Berkah dan Hari yang Fitrah

Diperbarui: 15 Mei 2021   11:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Kompas.com

Usai kita melewati bulan penuh hikmah, berkah, dan ampunan, yaitu Ramadhan ditutup dengan Hari Raya Idul Fitri, dengan hati bersih, apa langkah kita selanjutnya dalam menekuni rutinitas keseharian yang masih lekat dengan Covid-19?

Apakah usai Lebaran ini, seperti kekhawatiran berbagai pihak, kasus corona akan kembali melonjak di Indonesia? Sebab, masyarakat masih banyak yang memaksakan mudik, pemerintah pun tak tegas dan tak konsisten dalam menerapkan kebijakan larangan mudik karena ada instrumen pemerintah yang justru longgar kepada kehadiran WNA dan WNI dari manca negara.

Kira-kira, bila benar kasus corona kembali melonjak, apakah pemerintah akan membuat kebijakan lockdown seperti negeri tetangga Malaysia dan Singapura? Kita tunggu.

ISEAKI tugas siapa?

Kembali ke pertanyaan apa langkah kita untuk menyambut rutinitas keseharian yang harus terus waspada pada virus corona? Apakah rutinitas itu akan sama dengan sebelum Lebaran? Atau akan ada perubahan dan peningkatan?

Bila kita ingin mengubah langkah dan membuat peningkatan, akan ada seribu satu akal, bila kita terbiasa mengelola intelektual, sosial, emosional, analisis, kreatif-imajinatif, dan Iman (ISEAKI) kita.

Namun, bila kita tak pernah mengelola ISEAKI kita secara seimbang, terutama tak merawat, menyiram, dan memupuk dengan benar, maka mustahil kita akan mampu membuat perubahan pada rutinitas kita.

Lalu, bagaimana cara merawat ISEAKI kita agar seimbang dan berkembang? Kuncinya adalah ada pada sikap dan kebiasaan kita dalam membaca (literasi), analisis/kalkulasi/perhitungan (matematika), dan ilmu pengetahuan (sains).

Sayang, pendidikan Indonesia masih terpuruk bahkan kegagalan justru di sektor pondasi, yaitu pendidikan dasar, menengah, dan atas, pun perguruan tinggi.

Kolaborasi ini selama puluhan tahun terus beranak-pinak. Orang tua yang tadinya sekolah dan kuliah, juga banyak yang tak tuntas dan tak lulus dalam pendidikan budi pekerti, pun banyak yang tak menguasai dan akrab dengan literasi, matematika, dan sains. Saat para orang tua ini melahirkan anak-anak, juga sama, di rumah banyak gagal dibimbing orang tua yang juga gagal. Di sekolah dan perguruan tinggi juga budayanya masih sama. Hasilnya, ya kegagalan pendidikan yang beranak-pinak.

Bayangkan, yang mengenyam bangku sekolah dan bangku kuliah saja masih banyak yang gagal di pendidikan. Bagaimana yang tak pernah tersentuh pendidikan? Lalu, kira kira berapa persen perbandingan antara masyarakat Indonesia yang sekolah dan kuliah dibanding yang tidak?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline