Lihat ke Halaman Asli

Supartono JW

Pengamat dan Praktisi

Idul Fitri, Momentum Kembali Ikuti Suara Hati, Bukan Ambisi

Diperbarui: 12 Mei 2021   10:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Tribunnews.com


Biarpun bersikap buta dan tuli, suara hati tak pernah dapat sembunyi dalam diri. (Supartono JW.12052021)

Penghujung Ramadhan dan masuknya Idul Fitri 1442 Hijriah seharusnya menjadi momentum semua pihak di Indonesia untuk mendengarkan suara hati, bukan ambisi.

Suara hati adalah pengetahuan di dalam batin untuk membedakan tindakan yang benar dan salah secara moral. Suara hati juga kemampuan moral yang mengarahkan manusia untuk menyetujui yang benar dan menyalahkan yang salah. salah, suara hati yang jahat, dan suara hati yang murni.

Sementara ambisi adalah keinginan (hasrat, nafsu) yang besar untuk menjadi (memperoleh, mencapai) sesuatu (seperti pangkat, kedudukan) atau melakukan sesuatu.

Ambisi menguasai bukan suara hati

Dari beberapa episode pemerintahan di Republik ini, kisah jeritan suara rakyat dari ketidakadilan dan ketidaksejahteraan terus melingkar-lingkar. Ibaratnya, rakyat terus terjajah di negeri sendiri meski Indonesia telah merdeka dari penjajahan kolonialisme jelang 76 tahun. 

Suara hati rakyat bak ditelan bumi, sebab manusia-manusia yang seharusnya amanah memimpin Indonesia hanya sibuk dengan ambisi dan ambisinya untuk menguasai. Sehingga suara hati terus kalah dan dikuasai oleh ambisi.

Amanat Pembukaan UUD 1945, pun seperti menjadi amanat yang hanya sekadar slogan, sebab terus konsisten tak terealisasi. Keadilan dan kesejahteraan rakyat terus sebatas utopia.

Karenanya, setelah Indonesia lepas dari penjajah kolonialisme, kini Indonesia pun terus dijajah oleh para manusia-manusia yang hati dan pikirannya hanya dipenuhi ambisi untuk menguasai. Menguasai kepemimpinan, menguasai kekayaan alam Republik ini, untuk kepentingan pribadi dan golongannya, bukan untuk rakyat.

Para elite partai sibuk dengan dirinya sendiri, terutama sibuk berpikir bagaimana mengembalikan modal selama proses untuk dapat kursi baik di parlemen maupun pemerintahan. Mereka pun bersama partainya sibuk dengan tanggungjawab memenuhi kontrak dengan cukong yang telah menggelontorkan dana menuntut timbal balik.

Sementara para cukong, orang-orang kaya dan para pengusaha yang miskin hati, juga terus sibuk dengan ambisinya mengeruk kekayaan alam dan segala isinya di negeri ini dengan berbagai intrik dan taktik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline