Jelang peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2021, fenomena sikap masyarakat Indonesia khususnya dalam kematangan intelegensi (pemikiran) dan personaliti (mental dan emosi), tetap masih ada yang memprihatinkan. Sebab, meski sudah ada larangan mudik yang berlaku selama 6-17 Mei 2021 bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali, untuk menekan pandemi corona, masyarakat tetap saja memadati Terminal Bus dan Stasiun Kereta Api atau dengan kendaraan pribadi untuk memaksa mudik.
Saat mereka ditanya wartawan media cetak atau televisi, atau petugas mengapa tetap memaksakan mudik, jawabnya mau pulang kampung.Tak pelak hal ini membuat Presiden Joko Widodo khawatir, sebab masih banyak masyarakat yang memaksakan nekat mudik Lebaran.
Jokowi mengungkapkan betul-betul masih khatiwar mengenai mudik di hari raya Idul Fitri yang akan datang, Hal ini dikemukakan saat memberikan arahan ke kepala daerah se-Indonesia, yang ditayangkan melalui YouTube Sekretariat Presiden, Kamis (29/4/2021).
Ada alasan yang sangat membuat Presiden khawatir. Berdasarkan survei Kementerian Perhubungan, terdapat 18,9 juta orang yang berencana mudik meski pemerintah sudah menyatakan pelarangan.
Sebelum pemerintah melarang mudik, ada 89 juta atau 33 persen penduduk yang hendak pulang ke kampung halaman. Begitu dinyatakan mudik dilarang, persentase tersebut turun 11 persen atau 29 juta orang tetap ingin mudik. Persentase itu terus turun hingga di angka 7 persen, dan angkanya juga masih besar, yaitu 18,9 juta orang yang masih akan memaksakan mudik.
Larangan tak disertai solusi ekonomi
Kekhawatiran Presiden akan masih banyaknya masyarakat yang tetap memaksakan mudik, ibarat bertepuk sebelah tangan. Pasalnya, keputusan pemerintah melarang rakyat mudik lebaran untuk tahun kedua di musim Covid-19 ini, menimbulkan pro dan kontra berkepanjangan. Yang pro, membela dengan disertai data dan alasan. Yang kontra pun menyertakan data dan alasan tentang efek baik dan buruknya bagi kesehatan dan ekonomi rakyat.
Namun demikian, secara ilmiah dan logis, keputusan melarang mudik memang menjadi solusi teralternatif demi Indonesia terhindar dari stunami gelombang corona seperti India. Meskipun secara ekonomi dampaknya juga sangat signifikan membuat masyarakat semakin terpuruk. Karenanya, karena dampak larangan mudik ada efek domino di sektor ekonomi, maka masyarakat banyak yang berharap, pemerintah tidak hanya membuat kebijakan melarang saja, tapi juga disertai bijak menutup dan menambal ekonomi rakyat yang terimbas.
Sayang kebijakan menambal atau menutup ekonomi rakyat yang terimbas bisa berupa insentif atau subsidi atau sumbangan ini masih sekadar angan-angan. Presiden khawatir corona akan kembali bergelombang karena rakyat tetap memaksa mudik, tapi pemerintah tidak kasih solusi ekonomi rakyat.
Tak mudik berarti akan menambah beban ekonomi rakyat, karena tempat kerja libur atau pekerjaan tidak ada. Tapi bila mudik, ancaman klaster corona semakin terbuka di depan mata.
Jadi disimpulkan, pemerintah bijak melarang, tapi tak bijak membantu. Melarang tetapi tak disertai jalan keluar ekonomi yang terpuruk.