Lihat ke Halaman Asli

Supartono JW

Pengamat dan Praktisi

Menakar Kualitas dan Mutu Pengurus PSSI

Diperbarui: 26 Januari 2021   00:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: PSSI.org


Saat saya ikut melamar menjadi calon Sekretaris Jenderal (Sekjen) PSSI pada Mei 2017, banyak asa di hati dan pikiran saya untuk membantu PSSI khususnya terhadap tiga hal, yaitu keorganisasian, kepemimpinan, dan program menyeluruh dari kurikulum, pondasi akar rumput, kompetisi, hingga timnas sesuai karakter Indonesia.

Namun, setelah saya "membaca" lebih dalam tentang PSSI, saya pun mundur dan tak hadir dalam tes seleksi. Dan, hasil bacaan saya pun terbukti.

Setelah empat tahun  berlalu, rekan sesama pelamar Sekjen yang terpilih pun mengundurkan diri, hingga hari ini tak ada lagi Sekjen PSSI asli.

PSSI dapat berbuat apa?

Kini, di tengah pandemi corona, sebagai negara yang rakyatnya menjadi salah satu pecinta olah raga sepak bola terbesar di dunia, nyatanya tatkala sepak bola manca negara masih dapat menggeliat dengan kompetisi domestiknya, ternyata di bawah naungan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), kompetisi sepak bola nasional tetap mangkrak. Kalah oleh Pilkada dan berbagai hal lain karena adanya pesanan atau kepentingan.

Terlebih Piala Dunia U-20 dan event AFC dan FIFA juga ditunda atau dibatalkan, tetapi di dalam Indonesia, PSSI tetap.tak dapat berbuat apa-apa, jauh dari spirit apa yang melatar belakangi lahirnya organisasi PSSI untuk bangsa Indonesia.

Padahal, seharusnya dengan protokol kesehatan yang ketat dan laga tanpa penonton, rakyat Indonesia masih dapat terhibur oleh pertandingan liga yang disaksikan di layar televisi.

Pun, bila kompetisi berjalan, maka semua pelaku yang berhubungan atau bersinggungan dengan sepak bola dapat mengepulkan asap dapurnya di tengah derita corona.

Sayang, sepak bola sebagai olah raga yang digaransi dapat meningkatkan imun, bahkan di Indonesia hingga kini juga tak ditemukan klaster corona dari sepak bola, malah dikalahkan oleh kerumunan-kerumunan yang bersembunyi di balik protokol kesehatan. Hingga masyarakat pun berpikir bahwa, ternyata rakyat jelata tak boleh berkerumun dengan apapun alasannya.

Namun, rakyat tak biasa, elite partai, pejabat, dan pendukung penguasa, boleh berkerumun dengan alasan sudah mengikuti prosedur protokol kesehatan ketat.

Itulah fenomena yang kini terjadi di +62, seolah NKRI hanya milik mereka, bukan milik rakyat Indonesia, rakyat jelata.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline