Lihat ke Halaman Asli

Supartono JW

Pengamat dan Praktisi

Ingat Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa

Diperbarui: 3 Desember 2020   10:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: kumparan.com


Ada ribut terus sejak kepulangan seorang ulama yang dikaitkan dengan corona dan disintegrasi bangsa. Lalu, digelindingkan berita penangkapan menteri oleh KPK terkait lobster.Kira-kira itu semua memang tak masuk dalam skenario atau memang aslinya sebuah skenario demi pengalihan isu agar rakyat tak tahu bahwa di Republik ini Pilkada sudah di depan mata, penjualan batu bara juga sedang diobral, Ahok juga ternyata sedang masuk sidang, lalu Papua Barat juga malah sudah mengikrakan diri menjadi negara.

Kasus UU Cipta Kerja pun hening, BPJS Kesehatan mau naik, juga ikut hening. Lalu kok pas, menteri yang tertangkap korup dari partai "itu". Bukan partai lain yang rakyat juga tahu, banyak pelaku korupnya. Ini sepertinya memang disengaja, dan rakyat digiring demi memperbaiki citra partai politik lain, pun dengan cara menghancurkan partai politik lawan.

Di sisi lain, seiring sejalan, corona juga terus sulit dijinakkan, bahkan terus dijadikan komoditi politik untuk saling menghujat dan menjatuhkan.

Di bidang pendidikan, para siswa sungguh-sungguh sudah masuk kondisi darurat. Darurat bila belajar terus dengan PJJ. Namun, adanya Surat Keputusan Bersama (SKB) empat kementerian, agar siswa dapat kembali belajar tatap muka, ujungngnya tetap dengan syarat, bila orang tua siswa setuju. Ini sama saja lempar batu sembunyi tangan. Semua mau lari dari kenyataan. Memberikan kebijakan tanpa solusi, dan menyerahkan keputusan pun dikembalikan ke rakyat. Untuk apa adanya pemerintahan.

Padahal belajar dengan PJJ sudah tak lagi dapat dipertanggungjawabkan hasilnya. Saat siswa mengerjakan tugas, sudah bukan siswa lagi yang belajar dan bekerja di rumah. Ada siswa yang hanya copy paste, hanya mencontek pekerjaan siswa lain, dikerjakan oleh orang lain dll.

Dari segi akademis tak dapat dipertanggungjawabkan, dari segi nonakademis, sikap dan moralitas, serta karakter budi pekerti luhur pun sudah tak dapat ditaklukkan.

Sungguh, belajar tatap muka kini sangat mendesak. Meski pandemi corona sangat merajalela, namun belajar tatap muka bisa dengan cara di ruang terbuka.

Miris, segala aspek kehidupan menyangkut hajat hidup orang banyak semakin menambah beban rakyat, di sisi lain, parlemen dan pemerintah yang disetir partai politik, lalu partai politik dikendalikan cukong, malah asyik dengan berbagai program yang dominan demi kepentingan sendiri dan keuntungan cukong.

Persatuan dan kesatuan bangsa terus tergerus oleh kepentingan partai politik dan cukong. Di depan mata ada daerah yang malah sudah mengikrarkan diri menjadi negara di dalam negara. Tapi pemerintah dan parlemen seperti adem ayem.

Keadilan dan kesejahteraan rakyat terus sekadar utopia, urusan kesehatan pun, rakyat terus jadi kambing hitam dan terus menjadi tempat pemungutan upeti sekehendak hati-nya. Iuran BPJS terus diobok-obok, dinaikkan tanpa peduli melihat kondisi ekonomi rakyat miskin.

Di dunia pendidikan, menterinya pun maunya cuci tangan. Tak berani bergerak dan ujungnya rakyat juga yang diminta menentukan kebijakan dan izin belajar tatap muka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline