Sudah diungkap berkali-kali dalam artikel yang sudah saya tulis, bahwa hakikat belajar khususnya bagi siswa/mahasisa di Indonesia adalah tatap muka. Terlebih telah terbukti, meski sebelum pandemi corona datang saja, hasil pendidikan baik secara nilai akademis maupun bukti perilaku siswa (non akademis) tetap jauh dari harapan.Karenanya begitu pandemi Covid-19 menyapa Indonesia, dan memaksa pemerintah membuat siswa dan mahasiswa selama sembilan bulan ini melakukan pembelajaran jarak jauh ( PJJ), benar-benar semakin memiriskan dunia pendidikan kita.
Belajar tatap muka saja masih belum berhasil, kini siswa dan mahasiswa di Indonesia harus melakukan PJJ. Jelas sesuatu yang semakin jauh panggang dari api.
Sejatinya, PJJ menjadi pilihan paling bijak, meski sudah terbukti proses dan perjalanannya tidak mulus, dilingkupi berbagai kendala, namun pilihan PJJ memang menjadi alternatif satu-satunya seperti pembelajaran di berbagai negara lain di dunia demi mencegah penularan virus Covid-19 di lingkungan sekolah maupun perguruan tinggi.
Sembilan bulan telah berlalu, kini PJJ di Indonesia akan memasuki bulan-bulan berikutnya, sebab corona tak kunjung reda. Meski ada wacana Kemendikbud memberikan izin bagi sekolah membuka pembelajaran tatap muka pada Januari 2021, namun wacana ini pun langsung mencuat menjadi kontroversi.
Banyak orang tua siswa di berbagai daerah Indonesia masih tetap keberatan bila sekolah mulai dibuka dan belajar dengan tatap muka.
Saya sendiri, merasakan dan melihat bahwa sejak corona hadir, pembelajaran dilakukan dengan PJJ, para siswa/mahasiswa di Indonesia sedang libur panjang. Tidak nampak gairah bahwa mereka sejatinya sedang tak libur sekolah, namun tetap belajar dengan PJJ.
Melihat aktivitas anak saya yang masih duduk di bangku sekolah, juga aktivitas anak tetangga di lingkungan kompleks saya tinggal, pun di kompleks lain dan wilayah lain secara langsung, benar adanya bahwa belajar PJJ tak membikin siswa bergairah dan merasa belajar. Karena esensi belajar bagi mereka, paradigmanya masih tatap muka, berada di lingkungan sekolah.
Lebih dari itu, sejak belajar PJJ juga sudah banyak siswa malah putus sekolah, karena tak dapat mengikuti ritme PJJ, ada yang malah membatu.orang tua bekerja, dll.
Mendikbud Nadiem Makarim pun mengungkapkan dalam Rakornas Pembukaan Sekolah di Masa Pandemi Covid-19 yang diselenggarakan KPAI secara daring, Senin (30/11/2020).
"Memang banyak sekali dampak negatif PJJ ini, bukan hanya kita, tapi negara lain juga. Semakin lama PJJ, dampaknya anak bisa putus sekolah, karena terpaksa membantu keuangan keluarga."
Lebih memprihatinkan, PJJ juga menghambat tumbuh kembang anak, baik dari segi kognitif maupun dari perkembangan karakter serta perkembangan psikososial dan juga kekerasan-kekerasan dalam rumah tangga. Istilahnya, PJJ benar-benar menghambat perkembangan akademis dan nonakademis anak. Terutama, anak-anak menjadi lepas dalam pendidikan karakter yang melahirkan mental santun dan berbudi pekerti luhur.