Lihat ke Halaman Asli

Supartono JW

Pengamat dan Praktisi

Kangen Bhineka Tunggal Ika

Diperbarui: 26 November 2020   22:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Kompas.com


Mengapa ada pihak-pihak yang begitu mudahnya terus membuat konflik dan perseteruan tak berujung di NKRI ini, berbanding terbalik dengan bagaimana para pejuang dan pahlawan berjuang dengan rela mengorbankan darah dan nyawa demi Indonesia merdeka.

Membayangkan masa-masa sekolah zaman ketika saya masih SD, SMP, hingga SMA, rasanya masih lekat bagaimana para guru-guru di kelas selalu mengingatkan dan mendidik para muridnya tentang nasionalisme, rasa memiliki, rendah hati, sopan-santun, etika, luhur budi, hingga bagaimana mencintai bangsa dan negeri ini yang berbhineka.

Setelah masa-masa itu lewat, sepertinya generasi sekarang tak dapat lagi menikmati masa-masa yang saya sebut indah itu. Banyak sekali faktor yang menjadi penyebab, hingga Bhineka Tunggal Ika, terasa semakin jauh menancap dalam pikiran dan hati generasi sekarang. Apa, Siapa, Mengapa, Kapan, di Mana, Bagaimana kisah Bhineka Tunggal Ika ini berubah menjadi sekadar slogan? Pasalnya, hal yang terkait Bhineka Tunggal Ika, kini justru menjadi bahan gorengan untuk cikal bakal semua sengkarut yang tiada pernah habis di negeri ini.

Satu di antara penyebab mengapa Bhineka Tunggal Ika, semakin tak merasuk dan melekat di hati segenap rakyat Indonesia adalah karena pendidikan yang terus terpuruk. Padahal melalui pintu pendidikan jiwa Bhineka Tunggal Ika akan terus bersemi hingga akhirnya terpatri.

Pendidikan di lingkungan keluarga, sekolah, kampus, juga di kehidupan sehari-hari mulai dari lingkungan RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten, Kota, Ptovinsi, hingga pemerintah pusat, sangat terasa tidak lagi menjadi kolaborasi yang solid, tapi justru seolah berdiri sendiri-sendiri dan tak saling menguatkan. Sebaliknya, kolaborasi saling mencipta konflik dan permusuhan terus disemai. Kehidupan di Indonesia, kini jauh dari cita-cita Bhineka Tunggal Ika.

Bhinneka Tunggal Ika bermakna berbeda-beda tetapi satu jua yang berasal dari Buku atau Kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular. Bhineka Tunggal Ika juga bermakna walaupun di Indonesia terdapat banyak suku, agama, ras, kesenian, adat, bahasa, dan lain sebagainya namun tetap satu kesatuan yang sebangsa dan setanah air.

Wujud dari Bhineka Tunggal Ika itu dipersatukan oleh bendera, lagu kebangsaan, mata uang, bahasa dan lain-lain yang sama. Kata Bhinneka Tunggal Ika juga terpatri pada lambang negara Republik Indonesia yaitu Burung Garuda Pancasila, tepatnya di kaki Burung Garuda Pancasila mencengkram sebuah pita yang bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika.

Berikutnya, wujud penjelmaan persatuan bangsa dan wilayah negara Indonesia tersebut termaktub dalam PP. No. 66 tahun 1951, 17 Oktober, diundangkan tanggal 28 Nopember 1951, dan termuat dalam Lembaran Negara No. II tahun 1951.

Makna Bhineka Tunggal Ika yang juga berarti keanekaragaman, meski perbedaan dan pertentangan, namun justru keanekaragaman itu bersatu dalam satu sintesa yang pada gilirannya justru memperkaya sifat dan makna persatuan bangsa dan negara Indonesia.

Degradasi nasionalisme

Harapan agar Bhineka Tunggal Ika seperti cita-cita pendiri bangsa, nampaknya tanpa disadari kian terdegradasi. Sehingga sikap nasionalisme masyarakat pun kian merosot. Selalu bicara persatuan dan kesatuan bangsa, faktanya berseteru dan berkonflik kini menjadi tradisi dan budaya setiap waktu yang dipicu oleh apa pun masalahnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline