Lihat ke Halaman Asli

Supartono JW

Pengamat dan Praktisi

Antara City of Intellect dan Amburadul

Diperbarui: 11 November 2020   22:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Supartono JW

Bila Jakarta meraih kota dengan predikat transportasi terbaik, dibilang dari hasil kerja pemimpin sebelumnya, bukan pemimpin yang menjabat sekarang. Maka, amburadulnya Jakarta berarti juga hasil kerjanya pemimpin sebelumnya, bukan pemimpin sekarang. Mungkin?

Gara-gara Universitas Negeri Jakarta (UNJ) melakukan survey dan akhirnya menghasilkan nama kota di Indonesia yang masuk ke dalam kriteria City of Intellect, Kota Jakarta jadi disebut Kota Amburadul. Mirisnya, dasar pernyataan menyebut Kota Amburadul malah tidak nyambung dengan kriteria City of Intellect seperti yang dimaksud oleh UNJ.

Dalam tayangan Sapa Indonesia Malam Kompas TV, Rabu, 11 November 2020, salah satu narasumber, yaitu Ketua Senat sekaligus Guru Besar UNJ, Hafid Abbas yang mengungkapkan apa kriteria city of intellect sehingga juaranya adalah Semarang disusul Solo dan Surabaya, ternyata disimpulkan oleh pembawa acara Aiman, tak nyambung dengan sebutan Kota Jakarta amburadul oleh Megawati.

Amburadul adalah

Lalu apa City of Intellect itu? Masyarakat harus paham dan tidak semakin bertambah amburadul memahaminya. Sebab, amburadul sendiri maknannya centang perenang; berantakan; porak-poranda.

Masa, Jakarta yang baru terpilih sebagai kota terbaik dalam acara penganugerahan Sustainable Transport Award 2021 atas kemajuan yang terjadi pada sistem transportasi publik dan mobilitas, disebut berantakan atau porak-poranda?

Jadi, masyarakat pikirannya jangan ikut-ikutan "amburadul" porak-poranda memahami City of Intellect. Hati-hati mengeluarkan pernyataan atau komentar bila tak memahami makna pernyataan atau komentarnya sehingga dapat menunjukkan dirinya intelek atau tidak.

Seperti telah terpublikasi di media massa, sebelum penghargaan 'City of Intellect' diselenggarakan, ada satu diskusi di kampus UNJ yang membahas tentang konsep tersebut.

Diskusi dengan judul 'Dari Rawamangun untuk Indonesia: Menapaki Jejak Pemikiran Soekarno tentang City of Intellect', dihelat pada Rabu 4 November 2020 dan Ketua Senat sekaligus Guru Besar UNJ, Hafid Abbas, mengajak peserta untuk kembali ke Rawamangun pada 15 September 1953. Mengapa kembali ke Rawamangun?

Ternyata, saat itu Soekarno meletakkan batu pertama pembangunan Asrama Daksinapati dan meninggalkan prasasti bertuliskan 'Kota Mahasiswa Djakarta'.

Kampus yang berdiri di Rawamangun pun adalah kampus Universitas Indonesia (UI) karena UNJ atau sebelumnya Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta belum lahir. Kampus UI juga khusus untuk fakultas non-eksakta seperti fakultas ekonomi, hukum, hingga sastra.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline