Sebuah buku panduan wisata berjudul "Maluku, Indonesian Spice Islands" terbitan Periplus tahun 1997 seakan mengingatkan penulis, betapa minimnya informasi wisata tentang Indonesia bagian timur. Tidak hanya minim, buku panduan wisata yang ada pun masih ditulis oleh penulis dan juga penerbit asing. Namun, di balik 'kekurangan' itu, ada berkah tersembunyi. Destinasi wisata di Maluku Utara masih menyimpan pesonanya yang orisinal!
Maluku Utara memang berbeda dengan destinasi lain yang sudah lebih dulu dikenal luas. Seakan jauh tersembunyi di timur, destinasi wisata di wilayah ini pun masih belum banyak dikunjungi, kecuali oleh wisatawan yang selalu mencari destinasi baru yang jauh dari label 'turistik'. Bahkan di percaturan bisnis wisata domestik pun, Maluku Utara harus diakui belum banyak dilirik sebagai destinasi wisata favorit.
Akan tetapi, inilah yang menjadi keunggulan Maluku Utara. Meskipun kawasan ini telah didatangi penjelajah dan penjajah sejak awal abad ke-16, tetapi hingga kini, pulau-pulaunya masih menyimpan pesona yang tidak pernah lekang digerus zaman. Sebuah pesona yang masih sangat alamiah, jauh dari sentuhan modernisasi yang biasanya masuk bersama derasnya arus wisatawan.
Maluku Utara sejatinya adalah sebuah provinsi yang masih 'muda'. Provinsi hasil pemekaran dari provinsi Maluku ini baru dibentuk pada 04 Oktober 1999. Sebelumnya, wilayah ini merupakan sebuah kabupaten dari Provinsi Maluku bersama dengan Halmahera Tengah.
Pada awalnya, provinsi dengan populasi sekitar 1.3 juta jiwa ini, menjadikan Ternate sebagai ibukota provinsi sampai tahun 2010. Selanjutnya, ibukota Maluku Utara dipindahkan ke Sofifi, salah satu kelurahan di Oba Utara yang merupakan bagian dari wilayah administrasi Kota Tidore Kepulauan.
Meskipun tergolong baru dibandingkan provinsi lainnya, Maluku Utara sejatinya bukanlah wilayah baru. Sebaliknya, inilah salah satu area paling bersejarah di Indonesia. Betapa tidak, kawasan ini pernah menjadi pusat kekuatan empat Kesultanan Islam terbesar di kepulauan Indonesia bagian timur. Keempat Kesultanan itu, yang dijuluki Moluka Kie Raha, adalah Bacan, Jailolo, Ternate dan Tidore.
Bahkan duo Ternate dan Tidore begitu terkenal di abad ke-16. Kedua pulau itu, Ternate dan Tidore, seakan menjadi ajang pertarungan antar kekuatan kolonialisme Portugis dan Spanyol. Dua bangsa penjajah asal Semenanjung Iberia ini saling memperebutkan pengaruh di antara dua Kesultanan yang juga sedang berseteru. Pada ujungnya, Portugis bersekutu dengan Ternate dan Spanyol berdiri di sisi Tidore.
Pangkal masalahnya apa lagi kalau bukan aroma cengkeh yang menggoda. Pada era itu kuncup bunga beraroma sedap ini memang hanya ditemukan di pulau Ternate, Tidore, Mare, Moti, dan Makian. Bangsa Portugis lah yang pertama kali tiba di sini pada tahun 1512. Lalu disusul Spanyol beberapa puluh tahun kemudian. Dan akhirnya, Belanda pun ikut masuk ke wilayah ini pada awal abad ke-17.
Benteng-benteng pertahanan para penjajah ini masih bisa ditemukan di seputar pulau Ternate. Misalnya, tiga benteng buatan Portugis di Ternate, yakni Kalamata, Tolukko dan Oranje. Dan benteng Tahula yang dibangun Spanyol dan Torre yang didirikan Portugis di Tidore.
Maluku Utara kini tentunya meliputi semua bekas Kesultanan di masa lalu. Wilayah provinsi ini mencakup bagian utara dari Kepulauan Maluku, berbatasan dengan Lautan Pasifik di sisi utara, Laut Halmahera di timur, Laut Maluku di bagian barat dan Laut Seram di selatan.