Norwegia adalah negeri yang cantik di belahan utara Eropa. Negara yang ibu kotanya di Oslo ini sering disebut sebagai Big Village in Europe. Mengapa Norwegia cantik? Karena kontur alamnya hanya bisa ditandingi oleh Kanada dan Swiss. Norwegia erkenal dengan pemandangan fjord-nya, yaitu laut yang jauh menjorok ke daratan dengan kaki gunung dan bukit di setiap sisinya. Dengan kondisi alam seperti itu, maka Norwegia menjadi salah satu produsen salmon terbesar di dunia. Tidak hanya salmon, Norwegia juga sebagai negara produsen minyak bumi (di laut utara) yang besar.
Norwegia menghentikan pengadaan biofuel yang berbasis palm oil. Norwegia tentu memiliki alasan sendiri mengenai kebijakan ini. Di antaranya adalah karena kampanye negatif tentang palm oil di Uni Eropa. Walaupun Norwegia tidak menjadi bagian dari Uni Eropa, bagaimana pun juga kabar tersebut sangat memengaruhi para pengambil keputusan di negara tersebut. Norwegia terkenal sebagai negara yang standar hidupnya sangat tinggi. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengumumkan World Happiness Report tahun 2017 menempatkan Norwegia sebagai negara paling bahagia di dunia.
Kampanye negatif tentang produk palm oil dan turunannya saat ini sudah menjadi kampanye hitam. Uni Eropa terang-terangan menyerang melalui berbagai isu negatif tentang produk palm oil. Isu lingkungan dan kehigienisan menjadi senjata yang sering dilontarkan pihak-pihak penentang palm oil. Market share produk ekspor Indonesia ke dunia masih didominasi oleh produk palm oil atau dari kelapa sawit. Kampanye hitam yang dilakukan Uni Eropa mulai memengaruhi negara-negara yang masih "serumpun" dengan Uni Eropa, termasuk Norwegia.
Apakah penghentian pengadaan biofuel berbasis palm oil Norwegia berpengaruh langsung dengan total ekspor palm oil Indonesia ke dunia? Jawabnya adalah tidak. Impor Norwegia untuk produk dari CPO dari Indonesia sangat tidak signifikan. Tahun 2014 dan 2015 hanya tercatat USD1000 Dollar, bahkan 0 (nol) untuk tahun 2016. Norwegia malah lebih banyak mengimpor coconut oil (minyak kelapa) menurut data International Trade Centre (ITC).
Menurut ITC, produk-produk lain yang Norwegia beli dari Indonesia cukup bervariasi. Yang paling banyak mereka impor dari Indonesia adalah peralatan dan mesin elektronik, arang kayu (wood charcoal), alas kaki, tekstil, dan produk tekstil termasuk garmen dan apparel. Kopi dan teh, serta rempah-rempah juga menjadi primadona ekspor Indonesia ke Norwegia yaitu mencapai USD 1.151.000 pada tahun 2016. Total Ekspor Indonesia ke Norwegia tahun 2016 mencapai USD 76.669.000, Sementara ekspor Norwegia ke Indonesia didominasi oleh produk minyak bumi, mesin-mesin dan produk kimia, sementara untuk produk ikan salmon nilainya mencapai sekitar USD 30.000.000. Total Impor Indonesia dari Norwegia tahun 2016 mencapai sekitar USD 221.800.000. Dalam hal ini, neraca perdagangan Indonesia defisit dengan Norwegia.
Apakah akan menguntungkan buat Indonesia jika menghentikan impor Salmon dari Norwegia sebagai balasan atas reaksi Norwegia terhadap produk palm oil Indonesia? Pemerintah harus menghitung dengan cermat jika akan mengambil langkah tersebut. Ekspor Indonesia ke Norwegia merupakan produk-produk yang juga dihasilkan oleh negara-negara kompetitor Indonesia.
Niat "perang dagang" ini tentu akan mendapatkan reaksi dari Norwegia. Mereka bisa saja mengalihkan pembelian produk-produk yang selama ini diimpor dari Indonesia ke negara kompetitor Indonesia lainnya seperti dari negara-negara ASEAN, Asia Selatan (untuk tekstil), dan sebagainya. Apabila Norwegia memilih mengalihkan pembelian produk impornya ke kompetitor Indonesia, maka Indonesia akan kehilangan pasar dan akan berpengaruh terhadap ekspor Indonesia khususnya ke Norwegia.
Pengalihan pembelian produk salmon sebaiknya tidak dikaitkan dengan isu palm oil. Negara penghasil salmon lainnya yang bisa sebagai alternatif adalah Chile. Indonesia-Chile telah sepakat dan menandatangani Indonesia-Chile Comprehensive Partnership Agreement (IC CEPA) atau Perjanjian Ekonomi Komprehensif pada tanggal 14 Desember 2017 di Santiago, Chile.
Dengan kesepakatan ini, perdagangan Indonesia-Chile diharapkan dapat lebih meningkat karena dihapuskannya bea masuk oleh kedua negara. Apabila produk salmon masuk kedalam pos tarif yang disepakati, maka harga pembelian dari Chile akan lebih baik dibandingkan produk dari Norwegia. Biarkan saja mekanisme pasar yang mengalihkan sumber pembelian salmon Indonesia ke Chile dari Norwegia, karena itulah manfaat memiliki perjanjian perdagangan dengan negara lain.
Mengkounter isu penghentian penggunaan palm oil oleh Norwegia mungkin masih bisa dilakukan dengan diplomasi secara bilateral. Marketing yang baik adalah memberikan data-data positif beserta contoh-contoh tentang produk palm oil Indonesia meskipun kita diserang melalui kampanye hitam. Keberlanjutan (sustainability), higienitas, dan isu lingkungan perlu diperlihatkan kepada Norwegia, tunjukkan bahwa produk palm oil Indonesia telah memenuhi standar-standar yang telah ditentukan dunia internasional.
Isu lingkungan seperti masih adanya konflik dengan orangutan di perkebunan menjadi faktor menentukan dalam menjawab kampanye hitam tersebut. Indonesia juga perlu melibatkan dunia riset untuk menunjukkan data dan fakta bahwa produk palm oil lebih baik dari produk alternatif yang berasal dari biji bunga matahari, kedelai, dan jagung yang memang menjadi andalan produk minyak nabati Eropa. Sejatinya, Uni Eropa merasa terancam produk minyak nabatinya bisa tergantikan oleh produk nabati dari palm oil. Karena itu, mereka melakukan segala cara untuk membendung atau menghambat penggunaan produk minyak nabati dari palm oil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H