Mahendradatta bagi masyarakat luas umumnya dikenal sebagai nama jalan raya di wilayah Kota Denpasar. Jalan ini menghubungkan banyak akses vital di kota tersebut, sehingga keramaian yang mengakibatkan kemacetan kerap terjadi. Selain keramaian jalan yang diasosiasikan, rupanya nama Mahendradatta identik dengan tokoh kepahlawanan laki-laki dari Bali. Bukan satu dua orang bahkan yang belum mengetahui bahwa Mahendradatta merupakan nama lain dari Gunapriya Dharmmapatni dan seorang permaisuri Raja Udayana. Namun banyak orang yang belum mengetahui sekalipun itu mahasiswa sejarah di Bali. Penulis terkejut ketika mendengar keheranan dari mahasiswa sejarah salah satu kampus di Bali tatkala penulis sedang bercerita tentang kisah Raja Airlangga yang membagi kekuasaannya menjadi dua wilayah untuk kedua anaknya, wilayah Panjalu dan Jenggala. Mahasiswa tersebut heran karena baru mengetahui bahwa Mahendradatta ialah sosok perempuan dan ibu kandung Airlangga.
Gunapriya Dharmmapatni atau biasa dikenal Mahendradatta ialah anak dari Sri Makutawangsawardhana seorang Raja Medang yang memimpin sekitar 991 masehi. Kerajaan Medang yang dipimpin oleh Makutawangsawardhana merupakan kerajaan pindahan dari sekitar wilayah Jawa Tengah ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok akibat letusan gunung Merapi (versi Van Bammelen). Mpu Sindok memindahkan kerajaan Medang yang semula berpusat di wilayah Jawa Tengah ke sekitaran wilayah Tamwlang dan Watugaluh. Istana tersebut terletak di wilayah Jombang sekarang. Selain memindahkan pusat kerajaan, Mpu Sindok membentuk dinasti baru yang bernama Isyana. Kelak, Mahendradatta merupakan keturunan wangsa Isyana yang lahir di Jawa Timur dan menjadi ratu di Bali.
Mahendradatta melahirkan tiga anak dari pernikahannya dengan Raja Udayana; yaitu Airlangga, Marakata Pangkaja, dan Anak Wungsu. Pernikahan politik tersebut merupakan peluang untuk mempercepat Hinduisasi di Bali dan juga disinyalir sebagai bentuk supremasi kerajaan Medang atas kerajaan Bali. Maka tidak heran dalam merawat kekeluargaan Medang dan Bali (Wangsa Warmadewa), Dharmawangsa sebagai seorang Raja Medang selanjutnya mengambil Airlangga untuk dijadikan mantu. Dharmawangsa merupakan paman dari Airlangga, yang tidak lain ialah saudara kandung Mahendradatta. Namun pesta pernikahan Airlangga dan Galuh Sekar (putri Dharmawangsa) tidaklah berjalan mulus. Pada pesta pernikahannya terjadi pemberontakan dari kerajaan kecil Wurawuri yang mengakibatkan tewasnya Dharmawangsa. Sedangkan Airlangga melarikan diri bersama pembantunya Mpu Narotama ke hutan Wanagiri. Sementara itu, anak Mahendradatta lainnya Marakata Pangkaja dan Anak Wungsu menjadi raja Bali di kemudian hari yang berpusat di Tampak Siring Gianyar.
Mahendradatta juga dikenal sebagai permaisuri Udayana yang cerdas dan bijaksana. Seringkali ia memengaruhi Udayana dalam mengambil keputusan. Apalagi dalam upaya penyebaran agama Hindu di Bali, Mahendradatta mendatangkan Mpu Ghana seorang brahmana dari Jawa untuk dijadikan sebagai guru suci. Hingga saat ini, Mpu Ghana dikenal sebagai salah satu dari Panca Tirtha; yaitu lima guru suci Bali. Selain itu, Mahendradatta juga berjasa memperkenalkan dewi Durga. Dalam kepercayaan umat Hindu, dewi Durga digambarkan sebagai dewi kekuatan dan perlindungan. Seorang perempuan cantik berkulit putih yang menunggangi seekor harimau. Durga memiliki wajah yang selalu tenang dan menunjukkan komitmen bahwa kebaikan harus menundukan kejahatan dalam kisah pembunuhannya kepada Manishasura --membuat Mahendradatta merepresentasikan dirinya sebagai sosok dewi Durga. Sehingga dalam kekuasaannya sebagai ratu Bali, Mahendradatta menyiratkan seorang penguasa yang tegas dan tidak totaliter. Begitupula berhasil menjadi perempuan yang membangun kerajaan Bali bersama Udayana.
Meskipun demikian, citra baik Mahendradatta kemudian diseret dalam kisah yang buruk pada cerita rakyat Bali terkait mitologi Rangda. Menurut mitologi, Rangda merupakan ratu dari para leak yang kerap memimpin pasukan penyihir untuk melawan Barong (simbol kekuatan baik). Selain itu Rangda juga dianggap sebagai perwujudan dewi Durga. Cerita rakyat selanjutnya ialah bahwa raja Udayana mengasingkan Mahendradatta karena diduga kerap mempraktikkan ilmu sihir yang mengakibatkan terjangkitnya penyakit di sebagian wilayah kerajaan. Namun dari cerita rakyat tersebut, hingga sampai saat ini penulis belum menemukan bukti kebenarannya, baik berupa jurnal ataupun temuan arkeologis.
Citra baik Mahendradatta dibuktikan pula dari beberapa prasasti Bali yang menyebutkan namanya terlebih dahulu daripada nama raja Udayana. Bahkan untuk penghormatan kepada ibunya, Airlangga disinyalir membangun Arca Durga Ma (Ibu Durga) di Pura Bukit Dharma Durga Kutri yang merepresentasikan sosok Mahendradatta.
Dengan demikian, nama Jalan Mahendradatta di tengah Kota Denpasar menyimpan banyak kisah sejarah. Bahkan bukan hanya tentang sejarah Bali, melainkan keterkaitannya dengan sejarah kerajaan di Jawa. Adalah hal yang mudah mempelajari sejarah berawal dari nama-nama jalan. Kita bisa mendapatkan banyak pengetahuan dengan menelusuri satu per satu nama besar yang dijadikan sebagai nama jalan. Nama jalan sebagaimana mestinya, ialah upaya dalam merawat ingatan kolektif akan kebesaran sejarah bangsa kita.
Sumber:
Oktorino, Nino. Hikayat Majapahit Kebangkitan dan Keruntuhan Kerajaan Terbesar di Nusantara. Jakarta: Elex Media Komputindo. 2020.
El Ibrahim. Moh Noor. Kerajaan Mataram Kuno. Semarang: Mutiara Aksara. 2019.