Dari maraknya pemberitaan media di Indonesia mengenai kasus pedofilia akhir-akhir ini, kita dapat mengamati adanya tendensi yang kuat dari sebagian media untuk membingkai kasus-kasus yang diberitakan sebagai kejahatan perilaku sodomi ketimbang sebagai masalah kekerasan seksual terhadap anak-anak.
Harian Jawa Pos (8/5/2014), misalnya, memasang judul headline "Kebiri Pelaku Sodomi." Padahal kalau dibaca isi beritanya mengenai kekerasan seksual pada anak-anak. Tempo Online juga memasang judul "Polisi: Korban Sodomi Emon Jadi 110 Anak" (9/5/2014)." Sedangkan Solo Pos menggunakan istilah "Kasus Sodomi Sukabumi" sebagai tajuk berita ketimbang menyebutnya sebagai "Kasus Kekerasan Anak" (Solopos.com, 8/5/2014). Penggunaan istilah yang sama juga digunakan antara lain oleh Pikiran Rakyat, Detik, dan TvOne.
Kesamaan dari semua media yang disebutkan di atas adalah penggunaan kata "sodomi" sebagai penanda utama untuk menunjuk pada kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Andri Sobari alias Emon. Padahal berdasarkan berita yang diliput antara lain oleh Republika, menurut Kapolres Sukabumi Kota AKBP Hari Santoso, dari sekitar 114 korban Emon "hanya" sekitar 22 orang yang mengalami sodomi ("Polisi: Emon Sodomi 22 Anak," 8/5/2014). Artinya adalah bahwa hanya sebagian kecil dari korban Emon yang mengalami sodomi, sedangkan media memilih menggunakan tajuk "sodomi" untuk kasus tersebut. Fakta ini memperlihatkan bahwa penggunaan tajuk "sodomi" oleh media-media tersebut sebenarnya terlalu melebih-lebihkan dan tidak sesuai dengan fakta.
Dari cara media memasang tajuk untuk kasus ini saya melihat adanya penonjolan perilaku sodomi sebagai kejahatan seksual itu sendiri ketimbang fakta penting bahwa kekerasan itu dilakukan pada korban yang masih di bawah umur. Kenyataannya adalah kekerasan seksual pada anak, seperti yang dilakukan oleh Emon, tidak selalu serta merta dilakukan melalui sodomi. Sebaliknya sodomi itu sendiri, atau disebut juga sebagai anal-seks, tidak selalu merupakan kekerasan seksual bila dilakukan antar-sesama individu dewasa secara sukarela tanpa paksaan.
Tidak perlu bantuan dari pendapat seorang ahli untuk menyatakan kalau kekerasan seksual pada anak-anak tidak semata-mata dapat dilakukan dengan cara sodomi, namun antara lain juga dapat dilakukan dengan seks vaginal, oral, maupun sentuhan. Sedangkan Sodomi atau anal seks adalah varian dari aktivitas seksual yang dilakukan antar dua orang dewasa, yang dapat dilakukan bukan hanya pada pasangan homoseksual namun juga pada pasangan heteroseksual dalam relasi pernikahan resmi.
Lantas bagaimana kita dapat memahami mengapa sodomi sedemikian ditonjolkan dalam tajuk berita-berita di Indonesia, terutama ketika terkait dengan kekerasan seksual pada anak-anak?
Di Indonesia, kata "sodomi" selalu dikonotasikan dengan homoseksual. Secara samar-samar, di bawah sadar, kata "sodomi" selalu mengingatkan kita pada kisah mitologis Sodom dan Gomorah dalam kitab suci agama-agama Abrahamik --kisah yang dipercayai banyak pihak sebagai landasan utama bagi agama seperti Yahudi, Kristen, dan Islam untuk mengutuk homoseksual. Dengan menekankan kata sodomi pada berita-berita tersebut, secara implisit dan tanpa disadari, para awak media sedang mengkaitkan dengan halus antara pedofilia dengan homoseksual: dua hal yang seharusnya berbeda sekali (Untuk penjelasan mengapa keduanya berbeda sekali, baca artikel yang berjudul "Mengapa Homoseksual Tidak Sama Dengan Pedofilia," 1/5/2014)
Penekanan kata "sodomi" dalam media di atas juga menutupi fakta bahwa kekerasan seksual pada anak-anak bisa menimpa anak laki-laki dan anak perempuan. Secara tidak langsung, kecenderungan untuk menonjolkan isu sodomi pada kekerasan pada anak-anak merupakan refleksi langsung dari publik di Indonesia yang lebih menyoroti kekerasan seksual yang dilakukan oleh laki-laki dewasa terhadap anak laki-laki ketimbang laki-laki dewasa terhadap anak perempuan.
Secara kultural, hubungan antara laki-laki dewasa dengan perempuan bawah umur cenderung lebih diterima dalam banyak masyarakat lokal di Indonesia. Menurut data kajian BKKBN, lebih dari 22.000 perempuan muda berusia 10-14 tahun di Indonesia sudah menikah (BKKN, 2012). Lepas dari stereotip bahwa pernikahan dini biasanya dilakukan oleh penduduk di desa, BKKBN menyatakan meningkatnya jumlah pernikahan dini di perkotaan pada tahun 2012 ("Meningkatknya [sic.] Angka Pernikahan Dini di Perkotaan," dalam Jurnal Perempuan, 7/12/2013).
Hal demikian bukanlah hal yang mengherankan mengingat betapa kuatnya dorongan seksual laki-laki Indonesia pada gadis belia bawah umur, yang dapat terlihat dari maraknya pekerja seks ABG (anak baru gede). Deputi Perlindungan Anak pada Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan, Dr Surjadi Soeparman MPH memperkirakan bahwa sekitar 30% dari pekerja seks di Indonesia adalah anak-anak di bawah umur ("30% Pelacur Anak di Bawah Umur," 8/7/2008)
Dan tentu saja, bila kita menyinggung tentang pernikahan dengan gadis bawah umur kita tidak boleh melupakan kasus Pujiono Cahyo Widianto alias Syekh Puji, seorang pengusaha yang menikahi anak berumur 12 tahun. Tanpa merasa perbuatannya bermasalah, Syekh Puji malah menyatakan pernikahannya sah secara agama dan berencana menikahi 2 anak lagi. Perlu setengah tahun dari pengakuan terang-terangan Syekh Puji di media, sebelum kepolisian menetapkan Syekh Puji sebagai tersangka. Di luar itu, statusnya sebagai "tokoh agama" dan orang kaya berpengaruh nan dermawan mampu mengubah perilaku kontraversialnya menjadi kebenaran abu-abu.