Kasus RAT, oknum Pejabat Eselon III di Direktorat Jenderal Pajak-Kementerian Keuangan membuka tabir masih adanya oknum pejabat yang tidak berintegritas. Kementerian Keuangan merilis beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yaitu: terdapat harta yang belum didukung bukti kepemilikan, diatasnamakan pihak terafiliasi, dan terindikasi disembunyikan, memiliki konflik kepentingan terkait dengan jabatan, memiliki gaya hidup pribadi dan keluarga yang tidak sesuai dengan kepatutan dan kepantasan sebagai ASN, terbukti tidak menunjukkan integritas dan keteladanan baik di dalam maupun di luar kedinasan. Atas pelanggaran disiplin berat tersebut, yang bersangkutan telah diberhentikan tidak dengan hormat sebagai ASN Kementerian Keuangan.
Hal ini sesuai dengan komitmen Kementerian Keuangan untuk menegakkan integritas secara konsisten dan menjadi momentum untuk melakukan bersih-bersih. "Kepercayaan publik dan integritas adalah pondasi bernegara yang tidak boleh tergerus. Tidak boleh dikhianati! Tidak ada institusi yang sempurna, namun, ini tidak boleh menjadi justifikasi untuk membiarkan segala kejahatan. Kejahatan harus ditundukkan, ini yang terus kami perbaiki di @kemenkeuri", demikian dirilis dalam salah satu akun media sosial resmi Kementerian Keuangan.
Viralnya kasus ini di media mainstream maupun media sosial membuat kepercayaan publik terhadap aparatur pajak merosot tajam. Banyak opini-opini di masyarakat yang menyatakan untuk apa membayar pajak kepada negara bila nantinya uang pajak tersebut "dirampok" oleh oknum petugas pajak. Kita membayar pajak, uangnya malah untuk oknum pajak membeli Rubicon, demikian persepsi netizen.
Opini tersebut intinya mengira bahwa uang pajak yang mereka setorkan ke Kas Negara bisa diambil begitu saja oleh oknum petugas pajak untuk kepentingan pribadinya. Apakah persepsi ini benar adanya? Untuk menjawab pertanyaan ini saya akan mencoba menjelaskan bagaimana proses penyetoran penerimaan negara (Pajak) ke kas negara berdasarkan ketentuan normatif pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 225/PMK.05/2020 tentang Sistem Penerimaan Negara Secara Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangaan Nomor 213/PMK.05/2022.
Berdasarkan peraturan tersebut di atas saya mencoba merumuskan bagaimana tata cara penyetoran pajak kita sebagai berikut:
- Pertama-tama Wajib Pajak/Wajib Bayar/Wajib Setor mengakses portal penerimaan negara berbasis web untuk mendapatkan kode billing. Yang dimaksud dengan kode billing adalah: kode identifikasi yang diterbitkan oleh Biller atas jenis pembayaran atau setoran yang dilakukan oleh Wajib Pajak/Wajib Bayar/Wajib Setor. Sedangkan biller di sini adalah unit Eselon I Kementerian Keuangan yang diberi tugas dan kewenangan untuk menerbitkan dan mengelola kode billing. Dalam hal penerimaan Pajak, maka biller-nya adalah Direktorat Jenderal Pajak. Adapun alamat web untuk mendapatkan kode billing tersebut adalah https://mpn.kemenkeu.go.id/
- Setelah mendapatkan kode billing, Wajib Pajak/Wajib Bayar/Wajib Setor menyetorkan/membayarkan sejumlah uang sesuai nominal yang diisikan saat memproses kode billing melalui Collecting Agent. Yang dimaksud dengan Collecting Agent adalah agen penerimaan meliputi bank persepsi, pos persepsi, bank persepsi Valas, lembaga persepsi lainnya, atau lembaga persepsi lainnya Valas yang ditunjuk oleh Kuasa BUN Pusat (Direktur Jenderal Perbendaharaan) untuk menerima setoran Penerimaan Negara. Pembayaran tersebut dapat dilakukan dengan berbagai kanal-kanal yang tersedia, bisa melalui kanal https://mpn.kemenkeu.go.id/ di atas, bisa juga melalui teller bank/pos persepsi, ATM, internet banking, EDC, dompet elektronik, kartu kredit, atau melalui Lembaga Persepsi Lainnya, seperti e-commerce, fintech, dan lain-lain (Bukalapak, Finnet, Mitra Pajakku, dan Indomaret).
- Atas Pajak yang sudah disetorkan, Wajib Pajak akan mendapatkan Bukti Penerimaan Negara (BPN), yaitu dokumen yang diterbitkan oleh Collecting Agent atas transaksi Penerimaan Negara yang mencantumkan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) dan Nomor Transaksi Bank (NTB)/Nomor Transaksi Pos (NTP)/Nomor Transaksi Lembaga Persepsi Lainnya (NTL) sebagai sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan surat setoran.
- Pajak yang anda setorkan melalui Collecting Agent dengan berbagai kanal tersebut akan ditampung/dikreditkan di Rekening Penerimaan Negara Terpusat atau Rekening Yang Dipersamakan Dengan Rekening Penerimaan Negara Terpusat yang dibuka Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Khusus Penerimaan pada masing-masing Collecting Agent berkenaan (Bank, Pos atau lembaga persepsi lainnya).
- Collecting Agent (Bank, Pos dan lembaga persepsi lainnya) melimpahkan seluruh saldo pada Rekening Penerimaan Negara Terpusat atau Rekening Yang Dipersamakan Dengan Rekening Penerimaan Negara Terpusat di atas ke Rekening Sub Rekening Kas Umum Negara (Sub RKUN) di Bank Indonesia (BI) paling sedikit 2x setiap hari kerja, paling lambat diterima di Bank Indonesia pukul 09.00 WIB dan pukul 16.30 WIB.
- Dari Rekening Sub RKUN selanjutnya Uang Pajak Anda dilimpahkan setiap hari kerja ke Rekening Kas Umum Negara (RKUN) di Bank Indonesia (BI).
Berdasarkan mekanisme di atas dapat terlihat, jika pajak disetorkan sesuai langkah-langkah di atas, maka dapat dipastikan dananya tercatat dengan baik dan masuk ke Kas Negara di Bank Indonesia (BI). Uang yang masuk ke Kas Negara tersebut pastinya AMAN karena ditatausahakan secara akuntabel sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Terhadap uang yang sudah masuk ke Kas Negara tersebut, tidak ada satupun pegawai Kementerian Keuangan yang bisa mengambilnya atau "merampoknya" untuk kepentingan pribadinya di luar prosedur yang berlaku. Uang yang tersimpan di Kas Negara yang ada di Bank Indonesia (BI) tersebut hanya dapat dikeluarkan atau ditarik oleh Kuasa Bendahara Umum Negara untuk membiayai belanja negara yang sudah ditetapkan dalam APBN sesuai dokumen dan prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan tentu saja semua transaksi uang masuk maupun uang keluar tercatat secara sistem elektronik perbankan dan dapat terlacak.
Dengan demikian, persepsi publik yang mengira oknum pajak bisa seenaknya "mengambil" atau "merampok" uang pajak yang sudah disetorkan ke Kas Negara adalah tidak benar. Ditjen Pajak sama sekali tidak memiliki akses ke rekening kas negara yang digunakan untuk menampung seluruh penerimaan negara.
Lalu uang apa sih yang bisa "dirampok" dan dinikmati oleh oknum pegawai pajak yang tidak berintegritas tersebut? Yang pasti jawabannya adalah BUKAN uang pajak yang sudah dibayarkan/disetorkan oleh warga negara dan sudah tersimpan di Kas Negara sebagaimana dijelaskan di atas. Berdasarkan kasus-kasus yang sudah pernah terungkap di Pengadilan, kemungkinan itu adalah uang suap atau gratifikasi atau fee ilegal atau "uang terima kasih" dari Wajib Pajak "nakal" yang tentu saja TIDAK disetorkan ke Kas Negara, hasil kongkalikong dengan oknum pegawai pajak yang juga "nakal". Biasanya terkait mark down jumlah pembayaran pajak yang seharusnya. Apa modus operandi sebenarnya, biarlah kita tunggu hasil investigasi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) serta penyelidikan dan penyidikan oleh aparat penegak hukum.
Sebagai penutup, kiranya Wajib Pajak yang baik tidak perlu kuatir uang pajaknya diambil oleh petugas pajak, sepanjang Wajib Pajak sendiri sudah menyetorkan uang pajaknya langsung ke kas negara sesuai mekanisme yang berlaku dan tidak "main mata" dengan oknum petugas pajak. Apabila merasa keberatan atas kewajiban pajak yang ditetapkan tentunya ada mekanisme legal yang dapat ditempuh. Dan apabila mendapat perlakuan yang tidak benar dari oknum petugas pajak, tidak perlu takut dan jangan ragu untuk melaporkan oknum tersebut melalui kanal-kanal pengaduan yang tersedia. Dengan demikian Wajib Pajak sendiri turut berpartisipasi untuk membersihkan institusi pajak dari oknum-oknum yang nakal.