Lihat ke Halaman Asli

Anto dan Deni

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Menyedihkan".  Itulah pendapat saya begitu yang mulia presiden Republik Indonesia menutup pidato/arahan singkatnya mengenai kasus KPK-Polri-Kejagung, pada hari Senin (23/11) lalu.  Bagaimana saya tidak berpendapat demikian.   Sekian lama rakyat menunggu; sekian besar harapan Bibit dan Chandra (juga harapan masyarakat); sekian percayanya orang bahwa presiden akan muncul dengan jalan keluar yang memuaskan mayoritas rakyat yang mengikuti dengan seksama kasus ini. Tapi, ternyata yang muncul adalah...

Meskipun hal tersebut bagi saya sudah sangat menyedihkan, keesokan harinya (Selasa 24/11) ternyata saya menemukan hal yang lebih menyedihkan lagi.  Di antara sekian banyak orang (termasuk pengamat politik berpengalaman) yang menganggap pidato presiden sebagai "berputar-putar, tidak tegas dan semacamnya" ternyata tidak sedikit pula orang yang menyatakan bahwa pidato presiden Senin malam itu jelas dan tegas.  Malah (meskipun tak jelas hubungannya), ada yang memuji-muji presiden kita itu sebagai orang yang cerdas, berwibawa, punya karisma dsb.

"Menyedihkan"; sekali lagi itulah yang bisa saya katakan.  Bagaimana tidak menyedihkan.  Bayangkan saja, sebuah bangsa (yang mengaku-aku besar) ternyata tidak mengerti (dan tidak bisa membedakan) mana yang 'tegas' dan mana yang 'tidak tegas'.

Bagi teman-teman yang begitu percaya bahwa pada hari Senin malam tanggal 23/11 presiden kita sudah berbicara dengan tegas, bolehlah kiranya saya sampaikan ilustrasi berikut:

Suatu sore 2 orang pria yang kebetulan bertetangga tiba di rumah masing-masing dan menemukan bahwa anak mereka (yang satu bernama Anto dan seorang lagi Deni) sedang bermain di atap rumah.  Ayah si Anto terlihat kaget dan langsung menyuruh anaknya turun.  "Anto, turun!!"  Begitu katanya, tanpa membentak.

Ayah si Deni tak mau ketinggalan.  Dia pun langsung berkata pada putranya, "Deni...  Ngapain kamu di atas situ.  Memangnya enak di situ ya Den?  Sudah berapa lama kamu di sana?"

Lanjut ayah Deni pula, "tapi kamu coba ingat-ingat deh Den, beberapa bulan lalu kan ada teman kamu yang rumahnya di ujung sana juga main-main ke atas genteng.  Sudah berkali-kali dia disuruh ibunya supaya turun, tapi dia tidak mau.  Kamu tahu apa yang terjadi?  Dia akhirnya jatuh Den dan tangannya patah.  Kan jadinya dia menyusahkan semua orang Den; menyusahkan kedua orang tuanya; juga menyusahkan dirinya sendiri."

Tanpa menunggu jawaban anaknya, ayah si Deni berkata lagi, "coba Den, apa yang bisa kamu petik dari kejadian tersebut?  Jelas kan Den, bahwa bermain di atas genteng itu berbahaya dan bisa membuat kamu terluka.  Ayah dan ibu tentu tidak ingin hal itu terjadi pada diri kamu Den.  Karena itu Den, ayah berharap kamu bisa mengambil hikmah dari kejadian yang menimpa teman kamu itu."

"Untuk saat ini, kamu memiliki satu pilihan Den.  Cukuplah sudah kamu bermain di atas situ dan ayo bermain dengan adikmu di dalam rumah.  Ayah juga minta dibuatkan kopi nih Den...," ujar ayah Deni akhirnya.

Bagaimana teman-teman; khususnya mereka yang begitu yakinnya bahwa pada hari Senin malam tanggal 23/11 presiden kita sudah berbicara dengan tegas?  Apakah teman-teman bisa melihat perbedaan sikap antara ayah si Anto dan ayah si Deni?  Bisakah teman-teman membedakan siapa yang tegas dan siapa yang tidak tegas?

Bagi saya (dan mestinya bagi buanyuaak orang lagi), ayah si Anto jelas-jelas telah bersikap (dan berbicara) dengan tegas pada anaknya.  Sementara, ayah si Deni jelas-jelas tidak tegas.  Cuma menyuruh anaknya turun saja koq ngomongnya ke sana ke mari.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline