Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Fatoni

Guru dan pengamat warung kopi

Arah Pendidikan Indonesia, Habis Gelap Terbitlah Kegelapan

Diperbarui: 9 Juni 2023   17:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Mungkin sangking minimnya literasi saya pribadi sampai tidak paham ternyata siswa Indonesia tidak menyadari bahwa diri mereka bodoh, (https://www.kompasiana.com/amp/sarianto/5ef1b719097f366ce94e8665/elizabeth-pisani-anak-anak-indonesia-tidak-mengetahui-betapa-bodohnya-mereka).

Saya berandai - andai artikel Pizani ternyata ya tidak salah. Siswa/i di kelas saya misalnya, saat mendapatkan tugas mempresentasikan sejarah walisongo mereka tidak mampu mengkomunikasikan materi mereka dengan cara yang sederhana. Hampir semua anak membaca materi tersebut dengan suara yang lebih keras, kalaupun bisa menyampaikan tanpa membaca, maka mereka menyampaikan dengan cara menghafal seperti halnya anak - anak lomba pidato. Padahal kemampuan komunikasi adalah hal paling sederhana dari kemampuan literasi.

Dari Pizani tersebut maka munculah penilaian Pisa yang mengukur kemampuan literasi membaca, literasi matematika, dan literasi sains. Ohh ya, Berdasarkan penilaian PISA yang di madrasah dipraktekkan dalam bentuk AKM/ANBK, Indonesia berada di peringkat keenam terbawah di dunia. Tidak perlu cari data siswa kalian, karena saya sudah tahu hasilnya.

Anak - anak yang saya anggap lemah di literasi tersebut pada realitanya hampir satu kelas diterima di MTsN lewat jalur kompetisi. Saya menganggap proses masuk MTsN lebih kompetitif dibanding SMPN yang menggunakan sistem zonasi.

Lalu mengapa mereka bodoh? Ya karena rendahnya kemampuan paedagogik gurunya, tentu ini berbanding lurus hirarki keilmuan itu sendiri, "kalau ente tak sewali Syekh Kholil Bangkalan ya jangan harap punya murid sealim Hadratu Syekh Hasyim Asy'ari, Kalau ente tak sealim Hadratu Syekh Hasyim Asy'ari ya jangan berharap punya murid sealim KH. Abdul Manaf Lirboyo". Berhubung muridku biasa - biasa saja ya gurunya juga pantas kalau semodelan kayak saya.

Saya menemukan fakta yang menarik bahwa anak sekolah orang kaya memiliki basis siswa/i yang memiliki kemampuan komunikasi dan rasa percaya diri yang bagus. Hal ini berbanding terbalik dengan sekolah desa dimana masih ditemukannya banyak kasus anak kelas 6 tidak mampu pembagian bilangan bulat satu digit angka. Sekolah kota mengajarkan bagaimana melangkah kedepan sedangkan sekolah desa mengajarkan bagaimana mengingat masa lalu dan saat ini. Cieee..

Pantas saja jika lemahnya kemampuan literasi siswa/i lebih banyak berada di kawasan sekolah pinggiran, anggap saja sekolah miskin. Sangat menyakitkan namun itulah faktanya.

Seiring pergantian menteri pendidikan di Indonesia akan diikuti pula dengan pergantian kurikulum. Seingat saya sekolah dulu mulai dari Kurikulum 94, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Kurikulum Berbasis Satuan Pendidikan, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Kurikulum 2013, dan sekarang Kurikulum Merdeka. Menukil anekdot seorang guru yang menginspirasi bagi saya Bapak Suparjo Rustam  dalam acara diseminasi KKG berkata "Indonesia ini sibuk merubah kurikulum tapi tak pernah merubah mindset guru tentang kurikulum yang baru". Sebaik apapun gagasan kurikulum dengan pendekatan penilaian PISA, pada prakteknya kita ini adalah guru KTSP. Sampai pensiunpun kita akan tetap mengajar ala guru KTSP.

Ditataran praktis pada kegiatan bimbingan teknis tentang kurikulum merdeka yang didapatkan guru hanyalah informasi tentang perubahan istilah dan perubahan administrasi pembelajaran. Gagasan ditingkat menteri dan para akademisi kurikulum merdeka sangat menarik, pada prakteknya di sekolah kurikulum IKM dilaksanakan oleh guru - guru KTSP. Modulnya kurikulum merdeka prakteknya ya tetap KTSP. Nah, jadi yang perlu dirubah mindset gurunya atau administrasinya??  

Satu masalah belum selesai sudah muncul masalah baru, tentang upah guru honorer yang tidak lebih layak dari upah tukang parkir jalan protokol kota. Memang agak lucu pendidikan di negeri ini, orang kuliah keguruan dengan biaya yang tidak sedikit saat menjadi guru honorer upahnya yang kecil malah diatur oleh undang - undang dan juknis dana BOS. Sedangkan tukang parkir yang tidak perlu sekolah tidak membutuhkan kompetensi apapun, upah mereka jauh lebih layak berdasarkan mekanisme pasar.

Belum selesai disitu guru ternyata ya profesi yang tidak terlalu membutuhkan kompetensi, dokter bisa menjadi guru, sarjana teknik sipil bisa menjadi guru, sedangkan orang yang kuliah keguruan tidak bisa manjadi keduanya. Betapa rendah dan tak berharganya profesi guru di Indonesia. Mulia dalam dogma agama, lemah dalam penghargaan negara. Saya menemukan fakta unik tentang sekolah swasta yang mampu mencetak anak - anak cerdas malah gurunya ternyata bukan sarjana pendidikan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline