Ritual tahlilan atau selamatan sudah umum dilakukan oleh masyaakat khususnya di daerah Jawa. Tahlilan sudah ada sejak zaman nenek moyang bangsa yang mayoritasnya beragama Hindu Budha. Kegiatan tersebut dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan mendoakan kepada orang yang telah meninggal. Tahlilan merupakan suatu bentuk dari kearifan lokal dari upacara peribadatan. Menurut dari sebagian orang, tahlilan merupakan kegiaatan yang sifatnya bid'ah. Dengan dasar bahwa orang meninggal hanya akan membawa apa yang mereka kerjakan selama masa hidupnya. Dalam perspektif ini dianggap bahwa tahlilan adalah suatu acara penghormatan dan mendoakan kepada orang yang telah meninggal, bukan sebagai cara untuk mendapatkan pahala dan ampunan dari Allah SWT.
Disebagian orang ada yang menilai bahwa tahlilan memiliki nilai-nilai positif seperti silaturahmi, solidaritas sosial, dan juga nasihat bagi orang yang masih hidup. Selain itu, tahlilan juga berisikan ajakan untuk beramal saleh melalui membaca doa, ayat Al-Quran, sholawat, dzikir, dan bersedekah. Dalam tradisi tahlilan juga memiliki fungsi sosial dan keagamaan dalam masyarakat. Kegiatan ini dapat mempererat tali persaudaraan antar sesama dan mempertahankan identitas budaya dan keagamaan.
Akan tetapi, ada juga masyarakat yang menolak kegiatan tahlilan. Ada beberapa faktor yeng mempengaruhi penolakan tersebut dilihat dari berbagai aspek. Pertama, dilihat dari pandangan teologis, menurut masyarakat yang menolak kegiatan tahlilan dikarenakan mereka menganggap sebagai bid'ah yang tidak diajarkan oleh Rasulullah secara terang-terang. Mereka beranggapan bahwa kegiatan tahlilan tidak ada dalam Al-Quran dan hadis nabi. Kedua, dari sudut pandang beberapa ulama menolak diadakannya tahlilan. Mereka menganggap bahwa tahlilan tidak memiliki landasan normatif yang jelasdalam Al-Quran dan Hadis Nabi.
Kritik terhadap tahlilan juga diutatrakan oleh beberapa masyarakat yang menolak, dengan alasan tidaka adanya landasan yang jelas dari Al-Quran dan Hadis yang jelas ditakutkan berpotensi mejadi bagian dari akulturasi agama dan budaya yang dapat mempengaruhi hukum islam. Salah satu tokoh yang mengkritikadanya tahlilan yaitu Misbah Musthofa. Pada dasarnya ia tidak menjustifikasi apakah hukum tersebut apakah boleh atau tidak. Kritikan Misbah Musthafa terhadap tahlilan yaitu beliau menganggap bahwa umat islam telah melakukan perbuatan yang tidak seharusnya dijalankan. Beliau tidak melarang prosesi tahlilan, tetapi lebih kepada keikhlasan seorang ketika mengadakan hajat. Dan pembacaan tahlil dilakukan secara sederhana tanpa mengundang banyak orang, terlebih pada acara tersebut melibatkan banyak uang untuk selamatan.
Orang yang menolak biasanya memiliki alasan dan tujuannya yang berbeda-beda. Solusi mengenai permasalahan tersebut berdasarkan pendekatan agama adalah dengan mengingat tujuan dari diadakannya tahlilan itu sendiri. Tahlilan dilakukan atas dasar untuk mencari ridho dari Allah SWT. Dan memperbaiki diri sendiri serta orang lain. Jika oaring tersebut tidak memahami tujuan dari diadakannya tahlilan, maka perlu diingatkan kembali bahwasannya tahlilan bukan sekedar ritual saja. Tetapi, sebagai bentuk sarana memperbaiki diri dan memperoleh ridho Allah. Selain itu juga dapat mengingatkan kepada kita akan datangnya kematian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H