Lihat ke Halaman Asli

Elegi

Diperbarui: 25 Juni 2020   11:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pada sebuah senja yang rekah; di sebuah laut yang deburnya mendayu dayu manja bersama belai mesra angin laut, kulihat matamu berbinar penuh warna seperti melukis pelangi. Saat itu kutasbihkan dirimu sebagai muara tempatku berenang dan bermain; menyauk airnya dengan tangan lalu mencipratkannya ke atas sambil tertawa melepas penatnya kehidupan. Kaulah laut tempat pantaiku bersandar menikmati dongeng sang camar tentang putri Mandalika yang akan mengiringi pesta kita di tepian Selatan.

"Aku mencintaimu, Rara." Bisikku mesra. Berbenturan dengan riuh gelombang yang cemburu, kadang menjerit-jerit; menggema di dada.

"Aku juga." Sahutmu manja. Melampirkan senyum yang menggelorakan dada dengan debar-debar perasaan yang takut; takut kehilangan.

Lalu pantai menyimpan sejuta pasir gemerlap; membiaskan jingga sang senja yang sedang jatuh cinta pada tiap debur ombak. Ada pekik camar menggema di antara karang-karang kokoh mengawal keberangkatan para abdi laut menjemput rezeki; layar layar terkembang membawa harap dan jala jala yang telah sesak oleh doa anak istri. Jua kita; yang tengah bersepakat mengikat janji dengan cincin emas 24 karat yang kubeli sejak seminggu yang lalu; menunggumu di pantai ini, pantai tempat kita pertama kali bertukar perasaan dan saling menyatakan cinta. 

"Maukah kau menikah denganku, Ra?"

Tanganku mengacungkan peti kecil tempat cincin tersimpan lalu membukanya. Mataku lekat mnatapnya, menembus senja. Senyum yang rekah dan sebuah pelukan hangat menyambutku

"Aku akan menjadi pendampingmu selama lamanya", bisikmu mesra.

Senja pun pulang meninggalkan warna.

***

Hari-hari telah berlalu bagai desir angin; menyingsing di antara bukit-bukit dan ngarai-ngarai yang tetap setia menyimpan kesunyian. Rara namamu masih kupancang erat dalam dekap desahku yang tak mati. Berlomba menggali kenangan dengan debur ombak pantai Ampenan. Setiapkali kulihat hamparan pasir pantai, maka wajahmu akan selalu ada di situ. Setiap kudengar teriak sang camar, aku melihatmu tengah menderukan namaku seperti hari pertama kita menyauk air laut dengan tangan lalu kita biarkan mengalir hilang di antara jemari-jemari yang tak rapat; riak menepis betis-betis kita dan tampak bening disorot sang matahari yang gelisah menunggu petang. Setiap kali kulihat burung bangau terbang pulang; maka kuingat suaramu yang menghitung tiap kepaknya lalu bernyanyi kecil di tepian pantai, membawaku pulang kembali ke dalam kenangan masa-masa kecil kita. Saban sore burung bangau melintasi awan berjejer rapi menuju selatan; melintasi bukit demi bukit dan laut, lalu kitapun berdendang sambil memandang mereka pulang membawa harapan:

Kebango jok lauq2

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline