Lihat ke Halaman Asli

Purnama Cinta Berbisik

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dedaunan masih terlihat basah oleh embun pagi. Diufuk timur kegelapan langit sudah mulai ditembus seberkas sinar seperti benang putih yang halus hendak menerobos masuk. Kokokkan ayam kinantan pun saling bersahutan menyambut pagi dengan kegembiraan seakan mereka akan medapatkan banyak makanan hari ini.

Udara masih begitu terasa dingin hingga menusuk tulang. Bersembunyi di bawah selimut tebal di atas kasur yang empuk tentunya akan lebih hangat dan lebih nyaman. Walaupun terasa berat, Pertapa berusaha untuk membuka kedua matanya. Tangan kananya mencoba meraba-raba meja yang ada di samping kanan tempat tidurnya mencari sesuatu dan tidak lama ia mendapatkan sesuatu apa yang ia cari.

“Astagfirullahal’adzim!” seru Pertapa yang nampaknya sangat kaget dan kebingungan setelah ia melihat apa yang didapat dari mejanya.

“Ya Allah! Aku bangun kesiangan. Aku juga belum shalat subuh. Kenapa tidak ada yang membangunkan aku?” kebingungannya semakin bertambah.

Walaupun masih terasa berat, kepala juga terasa sedikit pening dan ditambah lagi udaranya yang begitu terasa dingin hingga menusuk tulang, ia mencoba untuk bangkit dari tempat tidurnya. Dengan sedikit gontai ia bergegas mengambil handuk putih kesayangannya yang tergantung di sebelah kanan pintu kamar dekat rak buku dan meja belajarnya. Tanpa berlama-lama lagi ia langsung ke kamar mandi untuk membersihkan badannya.

Di kamar mandi yang sederhana dengan bak mandi yang mempunyai ukuran panjangnya satu setengah meter, lebarnya nol koma tujuh meter dan tingginya satu meter itu terisi penuh air yang dingin. Ia letakkan handuk putihnya di paku yang ada di dinding sebelah kiri pintu kamar mandi yang sengaja dipasang untuk meletakkan handuk atau pakaian. Saat ujung jarinya menyentuh air yang ada di bak mandi, rasa dingin dengan sekejap menjalar ke sekujur tubuhnya hingga menggigil. Sesaat terlintas dibenak mengurungkan niatnya untuk mandi. Namun ia memaksakan dirinya untuk segera membersihkan tubuhnya walaupun keadaanya begitu terasa sangat dingin. Ia percepat mandinya karena dia belum melaksanakan shalat subuh.

Setelah dirasa cukup membersihkan tubuhnya, ia langsung mengambil air wudlu. Kemudian ia cepat-cepat keluar dari kamar mandi dan langsung memakai baju kokoh warna hijaun dengan sedikit ornamen yang memperindahnya. Sarung batik yang biasa ia kenakan saat shalat yang merupakan pemberian dari ayahnya pun tidak lupa ia kenakan. Di depan cermin sebentar ia berkaca melihat bayangan dirinya. Ia memakaikan kopiah hitam polos di kepalanya dan sedikit membenarkan kerapihan pakaiannya.

Tiba-tiba ia mengedarkan kedua bola matanya ke arah jam dinding yang ada di kamarnya.

“Jam lima lebih empat puluh satu menit” lirihnya pada diri sendiri untuk meyakinkan.

Kemudian matanya pun kembali mengitari ke salah satu sudut kamarnya. Dan ia pun mendapati apa yang ia cari yaitu jadwal shalat yang terpajang di dinding dekat tempat meja belajarnya.

“Alhamdulillah! Masih ada waktu lima belas menit lagi untuk mengerjakan shalat subuh.” Sekali lagi ia memastikan dan meyakinkan dirinya.

Tidak banyak mengulur waktu lagi Pertapa langsung menunaikan kewajibannya sebagai seorang hamba yang patuh kepada majikannya yaitu Allah Aza Wajalla.

bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline