False result, hasil yang tidak sebenarnya, pada pemeriksaan laboratorium itu adalah keniscayaan. Artinya, tidak ada satu pemeriksaan pun yang luput dari risiko tersebut. Lho kok begitu?
Ya memang demikian. Justru itu alamiah. Setiap tes berusaha mendeteksi suatu bagian yang paling unik dari target. Semakin unik, maka semakin spesifik. Tapi itu juga berarti ada risiko. Ada beberapa yang sebenarnya target, tapi lolos karena ada sedikit saja perbedaan pada bagian uniknya.
Semakin longgar syaratnya, maka makin banyak yang terjaring. Artinya makin sensitif. Walau tidak benar-benar sesuai, bila ada kemiripan dengan bagian unit tersebut, tetap terjaring. Walau sebenarnya sebagian bukan benar-benar target yang dimaksud.
Lha terus bagaimana?
Pada prinsipnya selalu berusaha mencari yang paling seimbang. Yang paling menguntungkan dari sisi tujuan pemeriksaan.
Artinya, disesuaikan dengan tujuannya. Untuk menjaring sebanyak mungkin, agar tidak ada yang lolos, kita perkuat sisi sensitivitasnya. Misalnya di awal-awal pandemi, agar tidak ada yang terlewat. Sangat berisiko bila masa pandemi, sampai ada yang sebenarnya sakit, tapi tidak terdeteksi.
Perlahan, bila sudah dirasa lewat fasenya, maka didorong agar sisi spesifisitas juga meningkat. Agar yang terdeteksi juga hanya yang memang benar-benar sakit.
Kalau sensitivitas 95% itu berarti dari 100 kali pemeriksaan, akan ada 5 orang yang salah hasilnya ya?
Oh tidak, tidak demikian. Itu artinya, untuk setiap kali pemeriksaan, ada risiko keliru sebesar 5%. Apakah pasti salah? Tidak. Apakah kalau dari 100 pasti yang salah ada 5? Tidak. Bisa saja 100 semua benar pemeriksaannya.
Jadi bagaimana? Maka di laboratorium, ada indikator yang lebih rinci: positive predictive value, negative predictiv value, likely-hood ratio. Indikator -indikator tersebut yang akan menunjukkan lebih rinci.
Kok sulit begitu ya?