Beberapa kebijakan muncul dengan cepat hari-hari ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa aura pilpres mempengaruhinya. "Hambatan" birokratis, diterobos dengan dicari celah aturannya.
Siapa tahu, beberapa hari atau pekan depan ini, tiba-tiba diputuskan: semua defisit JKN ditutup pemerintah. Darimana sumbernya? Menaikkan cukai rokok itu butuh waktu efeknya. Tidak bisa langsung berefek sekarang. Padahal kebutuhannya sekarang untuk menutup defisit JKN.
Pertama, semua Pemda harus melunasi iuran bagi penduduk (PBI) dan pegawainya. Baik PNS pusat, PNS daerah, dan Non-PNS apapun nomenklaturnya. Darimana anggarannya? Dipotongkan dari DAU (Permenkeu 183/2017)
Kedua, 75% dari 50% dari Pajak Rokok, ditarik sekarang juga untuk dipindahbukukan ke rekening BPJSK (pasal 99-100 Perpres 82/2018). Begitu juga penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau oleh Pemda untuk pembayaran iuran jaminan JKN bagi peserta yang didaftarkan oleh Pemda (Permenkeu 222/2017).
Ketiga, iuran JKN untuk seluruh perangkat Desa, harus dipenuhi sekarang untuk 2019 guna mendukung JKN (pasal 25 dan 30 Perpres 82/2018). Bisa mengikuti alur penggunaan ADD seperti PP 11/2019 tentang Siltap Perangkat Desa. Jadi bukan dari APBN atau APBD seperti pegawai pusat dan pegawai pemda.
Ke empat, semua Pemda HARUS memenuhi UHC sekarang juga. Sesuai Peta Jalan JKN: per 1 Januari 2019 sudah harus UHC. Artinya: harus memastikan terdaftarnya semua penduduknya sebagai peserta JKN.
Yang belum daftar, HARUS didaftarkan sekarang. Yang nunggak, harus dialihkan menjadi Peserta yang didaftarkan Pemda. Iurannya ditanggung Pemda. Disetor di depan, seperti juga pencairan PBI yang dicairkan di depan untuk membantu menjaga likuiditas dana JKN (Permendagri dan Permenkeu, sebagai pelaksanaan dari Perpres JKN).
Ke lima, SEMUA pemberi kerja yang belum tuntas mendaftarkan dan membayarkan iuran bagi pekerjanya, HARUS lunas sekarang juga (PP 86/2013). Kalau tidak, sanksi-sanksi dalam PP 86/2013 harus dilaksanakan secara tegas.
Ujung-ujungnya: kepada seluruh Faskes dan Nakes, untuk saat ini, dicairkan seluruh tunggakan klaim yang sudah terverifikasi. 100%. Sedangkan potensi piutang (maksudnya potensi menjadi klaim yang harus dicairkan oleh BPSK) yang sekarang sedang diaudit BPKP, bisa dijanjikan untuk pasti terbayar setelah terverifikasi.
Itu semua bisa dipenuhi, tanpa harus menambah beban APBN. Bebannya di Pemda dan Pemberi kerja. Pola ini juga dipakai pada penetapan Siltap Perangkat Desa setara PNS Golongan IIa akhir Februari kemarin (PP 11/2019). Juga pada penambahan komponen Gaji ke 13 dan 14 di 2018 kemarin. Dimana sebagian besar bebannya ada di Pemda dan institusi masing-masing. Bahkan kenaikan gaji pegawai pun, pada akhirnya lebih banyak menjadi beban Pemda dan institusi.
Jelas ini insentif sangat positif bagi Pilpres. Regulasinya sudah ada, tinggal "kebijakan penerapannya". Kewenangan juga jelas ada pada Petahana. Ini wajar saja, tidak perlu dipersoalkan. Tinggal bagaimana Petahana memanfaatkan kewenangan dan kesempatan yang dimilikinya.