(Ditulis pertama kali pada 27 Mei 2014)
Ini pertanyaan yang juga sering muncul dalam pelayanan di era JKN-BPJS Kesehatan. Apakah benar-benar gratis?
Konsep dasar JKN adalah dapat dijaminnya pelayanan kesehatan sebagai kebutuhan dasar untuk semua orang. Prinsipnya berbasis asuransi sosial (pasal 19 UU SJSN 40/2004). Dengan konsep ini, diharapkan semua orang mendapat pelayanan tanpa harus dibebani pembiayaan mendadak dalam ukuran relatif besar. "Risiko" itu dialihkan dengan pembayaran premi secara rutin setiap bulan (prinsip asuransi). Risiko itu juga "dibagi" bersama-sama secara komunal dalam masyarakat (prinsip sosial atau gotong royong).
Dengan konsep ini, pelayanan kesehatan menjadi "gratis". Tentu harus dalam tanda kutip karena, pertama, ada pengalihan risiko menjadi premi bulanan. Kedua, ini yang barangkali terlewat dalam "kampanye JKN", ada syarat dan ketentuan yang berlaku. Batasannya adalah "kendali mutu dan kendali biaya". Tentang hal ini, sudah saya uraikan dalam tulisan terdahulu.
Yang selama ini kita dapatkan sosialisasinya "pasien tidak perlu bayar sama sekali". Sebenarnya, ada batasan mana yang dijamin dan mana yang tidak dijamin. Prinsip mudahnya, yang dijamin adalah pelayanan kesehatan yang bersifat "kebutuhan primer". Sedangkan yang bersifat sekunder, tidak dijamin. Lebih ringkas lagi, dijamin kalau memang dibutuhkan, tidak jamin kalau itu sekedar keinginan lebih. Contoh yang gampang, operasi untuk mengembalikan fungsi (misalnya gigi tanggal karena kecelakaan) itu dijamin. Tetapi usaha perbaikan gigi karena alasan kosmetik, tidak masuk dalam jaminan.
"Tidak boleh ada iur biaya" juga sering kita dengar. Ini sebenarnya adalah implementasi dari kendali mutu dan kendali biaya. Disebut "tidak boleh ada iur biaya" erat kaitannya dengan moral hazard. Pengguna layanan maupun pemberi layanan, rentan melakukannya dalam bentuk "meminta atau memberi layanan melebihi kebutuhan". Karena itu, ada batasan tarif untuk setiap diagnosis (Permenkes 69/2013). Harapannya, membatasi pelayanan yang tidak perlu tadi.
Di sisi lain, tetap harus ada standar minimal yang dipenuhi. Untuk mudah dipahami saja, ada Formularium Nasional yang menetapkan obat standar dalam pelayanan kesehatan. Masuk Fornas, adalah salah satu syrat untuk dijamin (artinya tidak perlu bayar tambahan). JKN-BPJS juga memberi ruang bila ada yang belum masuk Fornas, meskipun dikendalikan secara ketat dengan indikasi jelas dan persetujuan Komite Medik (Pasal 24 ayat 2 Permenkes 71/2013).
Lho, kok itu ada pasien yang harus tombok?
Ada 2 klausul utama yang memungkinkan pasien harus tombok dalam arti ada "iur biaya". Pertama, memang pasien menghendaki perawatan di kelas yang lebih tinggi. Pasal 21 Permenkes 71/2013 menyatakan:
(1) Peserta yang menginginkan kelas perawatan yang lebih tinggi dari pada haknya, dapat meningkatkan haknya dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan, atau membayar sendiri selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan kelas perawatan.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bagi Peserta Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan tidak diperkenankan memilih kelas yang lebih tinggi dari haknya.