Lihat ke Halaman Asli

Tonang Dwi Ardyanto

TERVERIFIKASI

Akademisi dan Praktisi Pelayanan Kesehatan

80% RS Tidak Rugi karena JKN?

Diperbarui: 5 Maret 2016   08:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Alur Entri INA-CBGs"][/caption]Dalam banyak kesempatan kita mendengar kata-kata bahwa "80% lebih RS tidak rugi karena JKN". Minimal 3 kali penulis mendengar langsung dari Pejabat Tinggi Pemerintahan. Belum yang terlontar eksplisit maupun tersirat di media. Bahkan dalam suatu ksempatan pun, Presiden pernah menyatakan "lha itu nyatanya RS tidak rugi kok, malah untung". Agar tidak menimbulkan salah paham, penulis berusaha menjelaskan soal angka "80%" dan apa yang hemat penulis perlu kita lakukan.

Setiap kali RS mengajukan klaim, maka dalam aplikasi INA-CBGs ada kolom untuk memasukkan berapa "tarif" RS kita. Dari sana lah, maka terkumpul data. Memang regulasi JKN mewajibkan BPJSK melaporkan Analisis Utilitas setiap bulan kemudian melaporkan secara berkala kepada Kemenkes. Salah satunya hasil dari pengisian kolom tersebut.

Pengisian itu terserah kepada kita, mau diisi berapa. Tetapi tentu diharapkan yang realistis. Bahkan dalam klausul verifikasi klaim, sebenarnya kita diharuskan menyertakan juga billing (daftar biaya) kasus tersebut. Tujuannya mendapatkan data perhitungan unit cost secara rinci dari setiap kasus yang klaimnya kita ajukan. Namun untuk penyertaan billing ini menjadi polemik antara manajemen dengan BPJSK, dan sekarang tidak di semua tempat masih mau menyertakan billing.

Dari data tersebutlah maka Kemenkes memiliki simpulan bahwa 80% lebih RS mengalami "surplus" karena tarif INA-CBGs masih di atas tarif RS. Tentu saja, simpulan tersebut perlu ditelisik lebih dalam karena:

1. Kebanyakan RS negeri menggunakan tarif kelas I-II-III secara politis ditetapkan rendah, dengan mengandalkan subsidi silang dari kelas di atasnya.

2. Kebanyakan RS memilih hati-hati mengisikannya ketika misalnya merasa tarifnya jauh di atas tarif INA-CBGs karena tentu saja akan menjadi perhatian, padahal kadang-kadang penetapannya belum benar-benar berbasis perhitungan unit cost. Apalagi kalau sampai menyertakan dokumen billing-nya. Kadang sengaja diisikan tarif yang lebih rendah daripada tarif INA-CBGs.

3. Sebagian RS khawatir ada risiko bila misalnya tarif yang diisikan tersebut kemudian akan menjadi klausul tertentu di kemudian hari terutama bila ternyata melebihi tarif INA-CBGs. Misalnya ada audit kecukupan maupun kedalaman padahal kita juga belum siap benar dengan data pendukung yang akurat (terutama dalam perhitungan unit cost).

Untuk itu, memang data yang dimiliki Kemenkes itu harus diakui valid secara data, tetapi tidak dapat disimpulkan tergesa-gesa. Kita pun harus menanggapinya dengan elegan justru agar tersampaikan bahwa ada pertimbangan-pertimbangan minimal seperti poin 1-3 tersebut.

Satu hal lagi, Kemenkes melihat dari data akumulasi total, bukan data kasus per kasus. Karena memang cara pandangnya dari sisi subsidi silang. Di lapangan, kita masih melihat cara pandang yang kasus per kasus. Data kasus per kasus itu sebenarnya diharapkan dari penyertaan data billing pada ajuan klaim. Tetapi tentu ini juga bukan hal yang mudah bagi manajemen.

Untuk itu, penulis mengusulkan beberapa hal:

1. Mari kita dorong keterbukaan di RS masing-masing agar jelas berapa dan bagaimana sebenarnya posisi keuangan dalam mengelola JKN. Tentu sebagai suatu data akumulasi, bukan hanya kasus-kasus tertentu yang tidak jarang dirasa memojokkan bagi klinisi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline