Lihat ke Halaman Asli

Tonang Dwi Ardyanto

TERVERIFIKASI

Akademisi dan Praktisi Pelayanan Kesehatan

Suara Hati Dokter: Mau Dibawa Kemana Hubungan Kita

Diperbarui: 26 Januari 2016   18:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Menarik membaca paparan “Doktor Mogok adalah Malapraktik” (Solopos, 2/12/2013). Sebagai seorang anggota Dewan Kehormatan Ikatan Advokat Indonesia, tentu beliau penulis artikel dimaksud, sangat menguasai permasalahan seputar hukum. Karena itu, sebagai hanya seorang dokter dan dosen, penulis menempatkan diri dalam penulisan berikut ini untuk lebih banyak bertanya.

Awal mula kegaduhan soal dokter ini berawal dari munculnya penangkapan Dr Ayu di Manado sebagai terpidana kasus malapraktik sesuai keputusan MA. Berita ini kemudian direspon dengan gelombang  keprihatinan para dokter, yang semakin lama semakin meluas, sampai ke tingkat nasional. Puncaknya adalah aksi keprihatinan secara nasional pada tanggal 27 November 2013 kemarin.  Atas aksi tersebut, penulis terdahulu menyebut sebagai malpraktik. Alasannya adalah termasuk kesalahan profesional pasif karena dokter mogok kerja dan menelantarkan pasien. Disebutkan juga bahwa hal itu direstui oleh induksi organisasi PB IDI.  Ada yang harus diluruskan dalam hal ini.

Dalam suratnya tertanggal 25 November 2013, atas dasar hasil Rapat Koordinasi Nasional dengan para Ketua Perhimpunan Dokter, PB IDI menyerukan 2 hal utama. Pertama, agar para dokter bertafakur di rumah pada tanggal 27 November 2013 disertai doa semoga seluruh bangsa Indonesia senantiasa sehat. Kedua, sebagai aksi solidaritas, para dokter diseru untuk mengenakan pita hitam di lengan kanan sebagai tanda keprihatinan. Juga, bila hendak menyuarakan aspirasi di publik, untuk dapat disampaikan dengan cara yang menjaga harkat dan martabat dokter.

Seruan itu lebih dahulu dinyatakan dengan syarat bahwa pelayanan emergensi dan untuk masyarakat miskin tetap berjalan. Penulis pribadi terlibat dalam rapat-rapat maraton di rumah sakit tempat penulis bekerja pada tanggal 26 November 2013. Tujuannya semata-mata untuk merumuskan formulasi agar baik aksi keprihatinan maupun pelayanan di rumah sakit tetap dapat berjalan.

Diputuskan bahwa pelayanan pelayanan di rawat inap, IGD, rawat jalan yang  bersifat segera dan tindakan penting yang sudah terjadwal seperti cuci darah maupun kemoterapi, tetap berjalan seperti biasanya. Kemudian informasi mengenai rencana pengaturan pelayanan dimaksud, telah penulis informasikan di media sosial untuk memperoleh efektivitas penyebaran. Harapannya, masyarakat bisa lebih menyesuaikan untuk keesokan harinya sekaligus upaya itu untuk meminimalkan distorsi informasi.

Pagi-pagi sebelum dimulainya aksi, penulis dan teman-teman sejawat, lebih dulu memastikan jalannya pelayanan sesuai rencana. Baru setelah itu, sebagian diantara kami memulai aksi. Sedangkan sebagian yang lain, tetap menjalankan pelayanan di rumah sakit. Jelas dalam hal ini bahwa tidak ada niatan untuk menghentikan pelayanan emergensi (gawat darurat yang memerlukan pertolongan segera). Sedangkan untuk kasus-kasus yang ringan, maka sebagaimana biasa pada hari-hari libur, masih bisa dilayani pada hari berikutnya.

Berita-berita yang kemudian muncul tentang terhambatnya pelayanan, selayaknya dapat disikapi lebih bijak. Misalnya berita pasien melahirkan di kamar mandi. Ternyata dari penelusuran didapatkan bahwa pasien itu dalam penanganan IGD. Ketika ke kamar mandi untuk buang air kecil, ternyata terjadi his (kontraksi untuk mulai proses melahirkan).

Segera pasien ditolong dan ditangani beberapa lama sampai akhirnya melahirkan di ruang bersalin. Informasi ini berasal dari sejawat dokter yang menangani langsung kasus tersebut. Juga tentang pasien yang disebutkan “ditolak”, ternyata adalah memang kasus yang tidak tergolong emergensi.  Tentu saja, dengan usaha maksimal pun masih ada ketidak nyamanan dalam pelayanan. Namun apakah sebesar itu salah para dokter sehingga aksi itupun terus dihujat?

Apakah semua berita tentang terhambatnya layanan itu tidak benar? Banyak yang diberitakan sebagai akibat “dokter demo” itu sebenarnya adalah berita-berita yang sudah rutin kita dengar sejak jauh sebelum aksi 27 November 2013. Pasien terlantar tidak mendapat kamar karena rumah sakit penuh, pasien kurang mampu terhambat karena administrasi sistem asuransi, anak-anak dengan gizi kurang, terpaksa tidak optimalnya terapi karena batasan asuransi, adalah bukan berita baru. Ini adalah potret pelayanan kesehatan kita yang memang masih perlu diperbaiki bersama. Kasus dr Ayu dkk, dalam pandangan penulis, hanyalah starting point atau pintu masuk untuk mengungkap banyak masalah dalam bidang kedokteran maupun sistempelayanan kesehatan kita. Itu yang lebih ingin disuarakan pada Aksi 27 November 2013 kemarin. Itu pula yang merupakan tanggung jawab pemerintah dan kita bersama, bukan hanya para dokter.

Hari Sabtu lalu, ada berita di koran nasional bahwa pemerintah masih menunggak sebesar 1,8 T (trilyun agar tidak salah dibaca) untuk anggaran Jamkesmas dalam bingkai BPJS 2014. Artinya itu adalah uang yang seharusnya untuk memenuhi premi bagi masyarakat miskin. Padahal program itu akan mulai berjalan 1 Januari 2014 yang tinggal menghitung  jari. Apakah hal ini bukan masalah besar bagi kita bersama?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline