Salah satu isu hangat dalam pelaksanaan JKN pada tahun 2015 adalah tentang Penguatan Faskes Primer. Maret 2015, Ketua DJSN menyatakan bahwa sistem rujukan belum optimal. Tercatat pada triwulan pertama 2015 ada 14.619.528 kunjungan di fasilitas kesehatan tingkat pertama. Dari data itu, 2.236.379 kunjungan dirujuk dari pelayanan primer ke tingkat pelayanan sekunder, 214.706 kunjungan di antaranya merupakan rujukan nonspesialistik, yang berarti seharusnya tak perlu dirujuk dan bisa diselesaikan di fasilitas kesehatan tingkat pertama.
Dalam berita yang sama, Dirjen BUK Kemenkes waktu itu menyatakan bahwa tingginya angka rujukan yang tidak perlu itu mengakibatkan penumpukan pasien di rumah sakit yang sampai kini masih terjadi. Pelayanan menjadi terganggu karena antrean panjang pasien. Sementara sumber daya manusia di rumah sakit terbatas. Idealnya hanya 10 persen pasien yang dirujuk ke pelayanan sekunder dari 155 penyakit. Namun, saat itu jumlah rujukan ke pelayanan sekunder mencapai 15,3 persen.
Pada Kompas 8/8/2015, dalam salah satu bagian beritanya, ada pernyataan dari Humas BPJSK bahwa "Faskes Primer tidak boleh merujuk 144 diagnosis". Disebutkan "akan disiapkan sistem agar tidak bisa merujuk kasus non-spesialistik". Ini tentu perlu diluruskan.
Terakhir beberapa hari lalu, muncul berita dari Dirjen Kesehatan Masyarakat Kemenkes bahwa layanan kesehatan primer harus diperkuat karena ternyata fungsi penegakan diagnosis untuk 155 penyakit belum berhasil. Bahkan disebutkan fungsi gate keeper belum berhasil, karena seharusnya 85% penyakit tidak perlu dirujuk.
Apa sebenarnya terjadi? Benarkah 85% penyakit harus tuntas? Tidak boleh dirujuk?
Pasal 44 UU Praktek Kedokteran 29/2004 menyatakan:
(1) Dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi.
(2) Standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibedakan menurut jenis dan strata sarana pelayanan kesehatan.
(3) Standar pelayanan untuk dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Sebagai pelaksanaannya kemudian diterbitkan Permenkes 1438/2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran.