Salah satu hal menarik dari beberapa kali membantu hajatan pernikahan di daerah Solo dan sekitarnya, adalah berkaitan dengan tata cara upacaranya. Kita ketahui bahwa dalam adat Jawa, ada serangkaian upacara yang dilaksanakan ketika hajatan pernikahan. Urutan itu bahkan sudah dimulai jauh-jauh hari sebelumnya.
Awalnya, dalam tradisi yang kuat, ada cukup banyak acara. Saya pernah terlibat dalam sebuah hajatan yang bahkan urutannya sudah dimulai sejak satu bulan sebelumnya. Isinya banyak upacara yang saya sendiri termangu-mangu karena baru mengetahuinya. Sebutlah misalnya nontoni, nembung, naleni, asok tukon, lamaran, mbucal-bucali, pasang bleketepe, midodareni, nyantri, siraman, ijab, panggih, pahargyan dan seterusnya. Bagi yang memegang tradisi kuat, maka seluruh rangkaian itu dilaksanakan, dan dalam hari-hari yang terpisah bahkan terpilih. Maka menjadi wajar bila sampai satu bulan.
Dalam perkembangannya, orang cenderung meringkas, biasanya hanya menjadi 2-3 hari saja. Acara pasang bleketepe dan siraman biasanya dilangsungkan satu waktu. Disusul pasrah calon pengantin, dan midodareni pada satu waktu juga. Selanjutnya ijab dan panggih (baik menyatu dengan resepsi ataupun masing-masing) biasanya dalam satu hari juga. Sebagian menambahkan acara pendahuluan atau sebagai rangkaian dalam bentuk ibadah (pengajian, pembacaan Qur'an, ataupun Ibadah Nasrani - saya belum mendapat kesempatan mengikuti yang agama lain).
Khusus yang kebetulan berkeyakinan Islam, selalu ada diskursus tentang "apakah tata cara upacara itu tepat dilakukan"? Lebih sering, diskusrus ini berlangsung dalam senyap, dalam arti tidak dibahas secara terbuka. Biasanya dalam diskusi kelompok kecil. Cukup sering saya mendapat pertanyaan dari empunya hajatan, bagaimana menerapkannya dalam koridor yang diyakini (Islam)?
Sebagai bukan seorang ahli dalam hal agama Islam, saya sering melihat memang ada beberapa hal yang biasa menjadi fokus "pergulatan bathin". Yang mudah tentu dalam hal misalnya seperangkat "ritual" sebelum dan selama proses. Biasanya ditempatkan di beberapa tempat seperti sudut rumah, langit-langit rumah, di pintu gerbang bahkan ada yang sampai ke sekitar rumah. Isinya dari bunga, makanan, juga dupa. Untuk yang ini biasanya sudah banyak yang meninggalkan. Atau minimal, tidak banyak menjadi diskusi karena relatif "tidak menjadi tontonan orang lain".
Mengiringi rangkaian tata upacara itu pun, ada beberapa makanan yang secara khusus dipersiapkan. Bahkan ada juga tata upacara khusus yang melambangkan kedua orang tua persiapan memasak (cethik geni dan adang sepisanan) secara khusus. Misalnya saat pasang bleketepe dan sadean dhawet ada sega pecelnya. Ada juga sega golong sebagai perlambang sudah golong gilig (bulat tekatnya) disertai doa semoga lancar dalam memasuki jenjang pernikahan (atau bagi orang tuanya dalam menikahkan anaknya). Di hiasan kanan kiri pada pintu gapura ada gedhang ayu dan suruh ayu sebagai perlambang bahwa kedua pengantin mencapai puncak "manisnya" kehidupan. Dirangkai pula batang padi diikat dengan alang-alang dan daun apa-apa sebagai sarana membersihkan meja (dengan makna semoga tidak terjadi halangan apa-apa). Bleketepe dirakit dari daun kelapa yang dianyam denga pola tertentu. Dimaknai sebagai lambang keteduhan (pangiyupan) dan kesegeran.
Saat siraman khusus disajikan sega tumpang. Jangan keliru lho ya, ini bukan soal persiapan "tumpang-tumpangan" tetapi sebagai perlambang persiapan mendaki tapak kehidupan yang lebih tinggi dari sebelum ke sudah menikah yang semua itu arahnya tetap hanya satu, menjadi lebih baik. Saat panggih, ada yang memberikan juga unjukan rujak degan tidak hanya sebagai minuman sehat berenergi, tetapi juga perlambang sudah tepatnya fase kehidupan sebagai kelapa muda, yang selanjutnya diharapkan menjadi "kelapa tua" yang semakin bersantan. Begitulah kurang lebih, atau sepengetahuan saya. Kalau soal makanan, biasanya masih diikuti tradisinya, karena tidak banyak bersinggungan dengan soal benturan keyakinan. Juga karena biasanya jarang yang memperhatikan secara rinci.
Bagaimana dengan yang merupakan bagian dari "tampilan" (part of the show)?
Sebenarnya, ada beberapa bagian yang menurut saya justru sudah selaras antara tradisi dan pemahaman Islam, walau hanya sebatas pemahaman saya. Misalnya, dalam acara lamaran, pasrah calon pengantin, atau malam midodareni, sebenarnya memang tradisi mensyaratkan tidak ada pertemuan antara calon pengantin laki-laki (CPL) dan calon pengantin perempuan (CPP). Bahkan dalam pandangan yang ketat, CPL tidak diperkenankan masuk ke rumah calon mertua. Dia hanya boleh di halaman setelah diserahkan dari pihak keluarga CPL. Setelah diserahkan kepada pihak orang tua CPP, maka CPL harus mondok (nyantrik) di tempat yang disediakan pihak keluarga CPP. Tidak boleh terjadi CPL menginap di rumah CPP. Proses nyantrik ini sebenarnya merupakan proses ujian bagi CPL untuk tetap bersabar dan menahan diri. Sungguh indah keselarasan ini.
Yang juga menarik dalam proses midodareni itu, ada proses pemberian nasehat dari calon mertua kepada CPL yang biasa disebut Sabda Tama (atau disebut juga Catur Wedha). Isinya adalah nasihat dari Ayah CPP sekaligus calon mertua sebagai persiapan untuk memasuki jenjang pernikahan dan berumah tangga. Memang ada semacam narasi baku untuk Sabda Tama ini. Tetapi, bisa menjadi luar biasa pula karena dalam proses itulah, sebagian calon mertua akan menyelipkan pula beberapa nasihat bernafaskan keagamaan bahkan dicuplik dari ayat Qur'an (sebut saja misalnya soal pernikahan sebagai perjanjian luhur - mitsaqon gholidzo -, tentang hak dan kewajiban suami dan istri, serta mengenai kewajiban mendidik anak dengan merujuk ke nasihat Luqman kepada anak-anaknya).
Hal ini kadang terlupakan, karena justru dalam acara itu, kedua CPL dan CPP dipersandingkan duduk di kursi pelaminan. Bahkan biasanya disertai juga prosesi tukar cincin. Dalam tradisi Jawa, sebenarnya tidak dikenal acara tukar cincin. Artinya tidak ada proses dimana CPL "bersentuhan" dengan CPP sebelum akad nikah. Jangankan menyentuh, karena saling bertemu atau memandang saja belum diperkenankan. Dalam sudut pandang ini pula, sebenarnya foto berdua - apalagi cenderung dengan gaya-gaya "mesra" - sebelum menikah (biasa disebut pre-wedding photo) jelas tidak dikenal dalam tradisi Jawa. Demikian pula tentu saja dalam ajaran Islam.