Tanggal 31 Desember 2015 kemarin, telah terbit Permenkes 99/2015 sebagai revisi terhadap Permenkes 71/2013. Beberapa perubahan tersebut menarik untuk dibahas.
1. Pada pasal 3 terdapat perubahan dan penambahan berupa keharusan tersedianya Fasiltas Laboratorium Pratama di PPK 1. Bila PPK tidak dapat menyediakannya, maka BPJSK dapat bekerjasama dengan Laboratorium Pratama. Pada Permenkes 71/2013, standarnya adalah "Laboratorium Sederhana". Ketentuan tentang Laboratorium Pratama tertuang dalam Permenkes 411/2010 Di dalamnya dimuat persyaratan fisik, kelengkapan alat, standar tenaga sampai ke kemampuan pemeriksaan minimal.
Ketentuan ini nampaknya disinkronkan dengan ketentuan mengenai standar pelayanan laboratorium di klinik (Permenkes 9/2014) dan di puskesmas (Permenkes 75/2014). Disesuaikan juga dengan kemampuan pemeriksaan memenuhi Panduan Praktik Klinis di Faskes Primer (Permenkes 5/2014). Tentu ini sebuah tantangan bagi PPK 1.
Sebenarnya sudah sejak masuk 2015 kemarin, memang BPJSK mulai juga bekerjasama dengan Laboratorium Jejaring. Terkait standar tarifnya, disepakati bersama antara Laboratorium Klinik dan FKTP setempat dikeatahui oleh Dinkes. Ada beberapa keluhan memang terkait relatif rendahnya tarif yang disepakati karena biasanya berbasis "penawaran terendah".
Sebagai orang laboratorium tentu saya harus menekankan dan menegaskan bahwa yang harus lebih dulu dipenuhi adalah Standar Akreditasi Laboratoriumnya (Kepmenkes 298/2008) dulu, baru berbicara tarif yang paling efisien. Jangan sampai standarnya dikalahkan oleh harga penawaran "termurah".
2. Setelah pasal 4 ditambahkan pasal 4A bahwa BPJSK wajib melaporkan secara berkala Faskes yang telah bekerjasama kepada Pemerintah dan Pemda. Hal ini penting untuk menegaskan pelaksanaan pasal 35 Perpres 12/2013 bahwa pada dasarnya ketersediaan faskes dan nakes aalah tanggung jawab pemerintah dan pemda.
3. Pada pasal 5 diubah dan ditambah bahwa selain memenuhi persyaratan teknis, kerjasama BPJSK dengan Faskes juga harus mempertimbangkan aksesibilitas, kecukupan antara jumlah Fasilitas Kesehatan dengan jumlah Peserta yang harus dilayani, kapasitas Fasilitas Kesehatan, serta jumlah penduduk di wilayah tersebut. Dua terakhir adalah penambahan dari isi sebelumnya di Permenkes 71/2013.
Dalam hal ini perlu tetap diperjelas bahwa bila terdapat keberatan atas suatu proses kredensialing, maka alurnya adalah membuat pengaduan kepada Dinas Kesehatan setempat untuk kemudian ditelusuri duduk masalahnya (diatur lebih khusus pada pasal-pasal selanjutnya).
4. Pada pasal 8, ayat 2 yang berbunyi "Dalam rangka pemberian pelayanan kebidanan di suatu wilayah tertentu, BPJS Kesehatan dapat bekerja sama dengan praktik bidan" dihilangkan. Maknanya disatukan dalam ayat 1 bahwa bila Dinkes setempat menyatakan tidak ada tenaga dokter suatu wilayah, maka BPJSK dapat bekerja sama dengan bidan dan/atau perawat untuk melaksanakan layanan PPK 1, sesuai kewenangan masing-masing dalam perundang-undangan. Selain itu ditambahkan ayat (3) bahwa bidan dan/atau perawat tersebut harus mendapatkan rekomendasi dari Dinkes dan organisasi profesi. Ini sesuai dengan amanah pasal 20 Permenkes 1/2012 tentang Sistem Rujukan.
5. Pada pasal 9 ditambahkan 2 ayat:
(2a) Seleksi dan kredensialing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau Asosiasi Fasilitas Kesehatan.