Lihat ke Halaman Asli

Tonang Dwi Ardyanto

TERVERIFIKASI

Akademisi dan Praktisi Pelayanan Kesehatan

JKN: Subsidi Silang dan Efisiensi?

Diperbarui: 17 Januari 2016   05:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjelang JKN 1 Januari 2014 lalu, kita sering mendengar iklan "layanan kesehatan gratis". Tetapi setelah berjalan, beberapa kali kita membaca ungkapan yang barangkali membingungkan. Ada yang menuliskan seperti "syukurlah, coba kalau tidak ada BPJS, saya harus membayar 22 juta". Bahkan ada yang menuliskan "2 bulan di PICU, 11 hari di ruangan.....255 juta, dan GRATIS tistiiissss....tiiisssssss..." Sebaliknya kita juga mendengar berita "biaya operasi transplantasi hati 1 M, BPJS hanya menanggung 250 juta". Juga bahwa "operasi pasang ring 80 an juta kok hanya ditanggung 20 an juta, baru bisa gratis kalau ke RS tipe A". Jagi bagaimana sebenarnya?

Pasal 19 UU SJSN 40/204 menyatakan bahwa JKN dibangun dengan prinsip asuransi sosial dan ekuitas. Tujuannya menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Apa bedanya dengan "asuransi komersial"? Asuransi sosial berprinsip nirlaba dan manfaat sebesar-besarnya bagi peserta (pasal 4). Agar dapat dijangkau dan mencakup sebanyak mungkin peserta, maka preminya harus "murah". Untuk itu, asuransi sosial mengandalkan "jumlah peserta yang banyak" sehingga dapat menerapkan prinsip gotong royong. 

Dalam menerapkan soal tarif layanan bagi provider (pemberi layanan kesehatan), JKN menggunakan prinsip INA-CBGs (Indonesian Case-based Groups). Tarif terhadap suatu kasus dikelompokkan dalam satu grup yang sesuai perhitungan menggunakan sumber daya hampir sama. Namanya grup, maka terdiri dari beberapa kasus, dengan diagnosis yang berbeda-beda. Terhadap semua kasus dalam satu grup, tarifnya sama. Disamping itu, sepanjang saya dapat menganalisis, tarif antar grup juga memperhitungkan prevalensi (angka keseringan kejadian) antar grup.

Sebenarnya model JKN dengan INA-CBGs ini secara ukuran kecil sudah mulai dilaksanakan sejak 2008. Berangsur-angsur kemudian sampai terakhir disusun untuk JKN 2014. INA-CBGs disusun berbasis pola tarif di banyak RS yang dianggap menggambarkan rata-rata tarif pelayanan kesehatan. Untuk JKN 2014, digunakan data dari 160 RS baik milik pemerintah maupun swasta. Hasilnya disusun dalam 12 kelompok tarif, ditambah 7 tarif yang dipisahkan dari grup karena kekhususannya. Tarif tersebut juga membagi atas level of severity sebagai ringan, sedang dan berat. Selanjutnya, masih dibagi lagi berdasarkan regionalisasi wilayah Indonesia menjadi 5 regional berbasis pada perbandingan indeks harga konsumen. 

Jadi katakanlah dalam 1 grup terdapat 10 jenis kasus, maka tarif bagi grup itu adalah rata-ratanya. Maka akan ada beberapa kasus yang "biaya sebenarnya" di atas rata-rata, dan sebagian yang lain di bawah rata-rata. Secara gampang, diharapkan ada "subsidi silang" dalam satu grup tersebut. Hasil penyusunan tarif tersebut dituangkan dalam Permenkes 69/2013 yang terakhir diperbarui pada 1 September 2014 dengan Permenkes 59/2014

Kembali ke pertanyaan awal, apakah benar-benar "gratis"? Tentu saja tidak. Dari sisi pasien, perbedaan mendasar ketika masuk JKN adalah konsep pembayarannya. Dulu, pasien membayar secara out-of-pocket: ada pelayanan ada biaya. Sekarang, pasien membayar rutin premi bulanan, dan tidak perlu lagi membayar ketika membutuhkan pelayanan (prospective payment). Karena itulah, muncul kesan dan memang dikampanyekan bahwa dengan JKN itu pelayanan kesehatan menjadi gratis. 

Jadi, RS tetap dibayar? Ya tetap dibayar. Sesuai biaya yang dikeluarkan? RS dibayar sesuai tarif INA-CBGs untuk kasus yang ditanganinya, bukan atas dasar berapa biaya yang telah dikeluarkan oleh RS untuk pelayanan tersebut. Pasien benar-benar tidak bayar? Ya begitu regulasinya. Dalam foto berikut ini, pasien "hanya" membayar Rp 240.000 untuk kebutuhan di luar medis bagi bayinya. 

Jadi nggak masalah dong? Di sini lah "seni"nya JKN. Karena model tarif grup, maka selalu akan ada kasus yang tarifnya di atas maupun di bawah rata-rata grup itu sendiri. Karenanya ada subsidi silang. Subsidi ini terjadi antar kasus. Karena itu, tidak bisa menganalisis "surplus-defisit"nya secara kasus per kasus. Bahkan dirasakan juga ada keharusan subsidi antar grup karena prevalensi kasusnya juga bervariasi. Analisisnya baru menjadi representatif ketika dibahas secara akumulasi, tidak lagi kasus per kasus. Akumulasi itu adalah untuk satu RS dalam satu kurun waktu tertentu (per bulan biasanya). Tentu saja, pembahasannya jauh lebih panjang. Terlalu panjang untuk tulisan ini. 

Sebagai contoh nyata saja, memang ada kasus dimana RS nampaknya "surplus":

Foto ini saya dapatkan dari seorang pasien yang mempertanyakan di medsos bahwa "seperti ini kok RS selalu mengeluh rugi, lagipula mengapa tetap ditarik urun biaya, bukankah sudah untung?".

Ceritanya, seorang pasien dirawat selama 2 hari. Dia naik kelas dari hak nya di kelas II ke kelas I. Seperti tertera dalam foto ini, RS mengeluarkan biaya sebesar Rp. 3.168.637 Sedangkan dari INA-CBGs mendapatkan klaim sesuai hak kelas pasien di kelas II sebesar Rp. 8.720.500 Sedang tarif INA-CBGs untuk kelas I pada kasus yang sama adalah Rp. 10.175.000 Maka kemudian RS meminta pasien tetap menambahkan urun biaya karena naik ke kelas I sebesar Rp. 1.934.500 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline