Lihat ke Halaman Asli

Khalifah yang Takut Dilaknat (Part 2)

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_289781" align="alignleft" width="177" caption="www.google.com"][/caption] “Kembangkanlah sifat kasih dan cintailah rakyatmu dengan lemah lembut. Jadikanlah itu sebagai sumber kebijakan dan berkah bagi mereka. Jangan bersikap kasar dan jangan memiliki sesuatu yang menjadi milik dan hak mereka. Sesungguhnya manusia itu ada dua jenis, yakni orang-orang yang merupakan saudara seagama denganmu dan orang-orang sepertimu. Mereka adalah makhluk-makhluk yang lemah, bahkan sering melakukan kesalahan. Bagaimanapun berikanlah ampun dan maafmu sebagaimana engkau menginginkan ampunan dan maaf dari-Nya. Sesungguhnya engkau berada di atas mereka dan urusan mereka ada di pundakmu. Sedangkan Allah berada di atas orang yang mengangkatmu. Allah telah menyerahkan urusan mereka kepadamu dan menguji dirimu dengan urusan mereka. Janganlah engkau persiapkan dirimu untuk memerangi Allah, karena engkau tidak mungkin mampu menolak azab-Nya dan tidak mungkin dirimu akan meninggalkan ampunan dan rahmat-Nya. Janganlah pernah menyesal atas ampunan yang kau berikan. Begitupun janganlah bergembira dengan sebuah hukuman. Jangan pula tergesa-gesa memutuskan atau melakukan semata karena emosi, sementara engkau sebenarnya dapat memperoleh jalan keluar...” Demikian penggalan kalimat yang dinasehatkan oleh Ali bin Abi Thalib kepada gubernur Mesir Malik bin Harits al Asytar, pada tahun 655M ketika ia dilantik menjadi gubernur oleh khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. Dengan keluarnya kalimat-kalimat dari seorang khalifah seperti di atas, dapat kita bayangkan bagaimana suasana pemerintahan pada saat itu. Suasana tentram, damai, makmur dan yang pasti tanpa slogan sebagai iklan pencitraan diri dari sang pemimpin. Khalifah pada masa itu mana kenal mereka dengan sarana yang bisa mengkamuflase kemakmuran dan kepastian hukum pada rakyatnya dengan pencitraan ? Media yang ada pada jaman itu hanya dakwah dengan referensi Al Quran dan Hadist Rasulullah saw. Lalu kenapa kita cenderung mengesampingkan referensi dari Tuhan dan hanya berdebat dengan referensi yang dibuat oleh manusia yang juga tujuannya ketika membuat referensi itu juga kurang jelas ? Mungkin, inilah penyebab dari segala kekacauan yang ada di masyarakat kita. Dan dilema ini akan berkepanjangan jika kesadaran tidak kunjung datang. Namun sebagai bangsa yang beragama, kita tetap optimis bahwa perubahan itu akan datang jika para khalifah yang memegang pemerintahan akan dilahirkan dari orang-orang yang tidak suka berebut tahta yang tidak diwariskan untuk mereka. Juga benar-benar menancapkan kedalam hatinya bahwa tahta itu amanah yang akan dipertanggung jawabkan di hadapan Tuhan setelah mati. Amiin.-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline