Lihat ke Halaman Asli

tomy sujarwadi

jendela dunia

Penjahat Intelektual dalam Pilpres

Diperbarui: 21 April 2019   19:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sudah tiga hari pemilu dilaksanakan, seharusnya setelah pemiihan langsung dilaksanakan. Suasana Pilpres sudah mereda, karena masa kampanye sudah berakhir. Kenyataannya justru terbalik, emosi rakyat terus dipacu oleh nafsu birahi kekuasaan. Lembaga-lembaga yang diharapkan bisa menyejukan dan memberikan pelajaran politik yang baik, justru menjadi motor yang merusak suasana kebatinan rakyat. Salah satu lembaga yang menjadi sorotan publik adalah kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diharapkan dapat berlaku adil, justru kinerjanya dipertanyakan berbagai kalangan. 

Dari pernyataan KPU yang menyatakan bahwa peristiwa amburadulnya pilpres di Malaysia dianggap hal biasa sampai kesalahan input data yang terus terjadi. Sehingga pak Mahfud MD dengan geram mempertanyakan kinerja KPU yang sampai hari ke tiga kurang dari 10 persen. Teknologi yang memakan biaya  besar yang digunakan oleh KPU ternyata membuat malu bangsa Indonesia di mata Internasional. 

Kemampuan Staf KPU dalam menginput data akhirnya dipertanyakan publik. Bahkan jauh lebih buruk dari staf perbankan, bahkan publik membandingkan dengan kemampuannya dengan  kasir alfamart. Ini sungguh miris, sekelas KPU mempunyai kemampuan dibawah kasir alfamart.

Dari awal ketua KPU dipertanyakan sepak terjangnya, keberpihakannya sudah bukan menjadi rahasia umum lagi. KPU pun seakan merestui kecurangan-kecurangan yang terjadi di lapangan. Seperti kecurangan tentang surat suara yang sudah tercoblos, KPPS yang tidak netral, sampai perhitungan suara yang curang.

Lucunya kinerja KPU bukan semakin baik, ditekan oleh publik untuk lebih transparan. Justru KPU mulai menutup diri dan memberikan ancaman yang memberi kritik kepada KPU untuk suatu perbaikan. Kritikan dianggap sebagai lawan, karena dianggap memfitnah KPU melakukan kecurangan. Padahal kritik yang ditujukan kepada KPU, tujuannya agar KPU lebih arif, netral dan adil serta jujur.

Akhirnya sekarang mulai muncul tagar yang seharusnya tidak terjadi bila KPU adalah wasit yang jujur. Di media sosial mulai muncul #KPUjangan curang menunjukkan publik mulai tidak mempercayai kinerja KPU. Bila ada oknum-oknum KPU yang tidak jujur, sebaiknya ketua KPU segera memecat dan menggantinya sehingga kepercayaan publik kembali percaya.

Warning sudah diberikan oleh DKPP, agar KPU bisa meningkatkan kinerjanya dan bekerja dengan penuh kejujuran. Hal ini seharusnya dapat membuka mata KPU, bahwa posisisnya sudah diawasi oleh publik. Bahkan saat ini, dunia internasional sudah memantau kinerja KPU. 

Menurut penulis, sebaiknya KPU bersikap dan bertindak adil dan jujur. Jangan sampai peristiwa pilpres di Filipina terjadi di Indonesia. Karena dapat memperburuk citra Indonesia sebagai negara Demokrasi yang menjunjung tinggi keadilan dan kejujuran.

Bahkan, yang lebih buruk dari itu adalah KPU dapat digugat secara perdata dan pidana karena dianggap melakukan kecurangan, baik di dalam negeri maupun dunia internasional sebagai penjahat demokrasi. Sehingga sudah waktunya KPK terus memantau kebijakan dan anggaran KPU yang sudah dilakukan oleh KPU sebagai wujud untuk mencegah/Pemberantasan Korupsi.

Penulis yakin, KPU masih mempunyai hati nurani. Karena masyarakat tidak meributkan siapa yang menang atau kalah. Masyarakat hanya menginginkan Pemilu ini berjalan dengan jujur sampai menentukan yang menang. Jangan sampai KPU dianggap sebagai penjahat intelektual karena tidak berlaku jujur. 

Ayo KPU, berikan yang terbaik dan jujurlah. Rakyat Indonesia mengharapkan dan mendoakanmu. Sejarah akan menulis dengan tinta emas.  Selamat berjuang KPU.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline