Lihat ke Halaman Asli

Mengapa Indonesia (Harus) Tanpa JIL?

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hari Jum'at (9 Maret 2012) lalu, sejumlah elemen ummat Islam mengadakan aksi damai di Bundaran HI, Jakarta Pusat. Aksi yang dihadiri oleh sedikitnya sekitar 1000 massa itu mengangkat tema: "Indonesia Tanpa Liberal". Beberapa hari sebelum aksi tersebut berlangsung, sejumlah spanduk merah putih bertuliskan "Indonesia Damai Tanpa Liberal" terlihat di beberapa lokasi. Aksi ini adalah salah satu wujud protes (sekaligus keprihatinan) atas pemikiran/opini/ideologi "liberalisme". Salah satu agen ideologi ini adalah JIL (Jaringan Islam Liberal), yang juga menjadi "sasaran tembak" dalam berbagai orasi pada aksi tersebut. Di ranah media sosial (twitter, facebook, blog), "perang" terhadap ideologi liberalisme sangat gencar dilakukan. Melalui media sosial pula terbentuk sebuah gerakan bernama #IndonesiaTanpaJIL. Ini adalah penegasan sikap penolakan atas aktivitas dan eksistensi JIL yang dinilai tidak selayaknya ada di bumi Indonesia. Berikut ini adalah dua alasan mendasar mengapa Indonesia (Harus) Tanpa JIL.

1. Melecehkan ajaran Islam (secara langsung maupun tidak)

Secara tidak langsung, para pegiat JIL kerap melecehkan ajaran Islam lewat berbagai tulisan maupun forum diskusi yang dikesankan ilmiah. Mereka selalu berdalih: kebebasan berpendapat, multi tafsir, menggugat kebekuan berpikir, dan sebagainya. Padahal yang mereka "gugat" adalah hal-hal yang prinsip atau fundamental dalam ajaran Islam (perkara halal-haram, perkara aqidah).

Secara langsung, para pegiat JIL juga sering "tertangkap basah" melontarkan kalimat yang melecehkan ajaran Islam (misalnya melalui akun twitternya). Jika ada yang membantah kalimat mereka, maka mereka akan membantah balik atau mendiamkan saja atau menghapus kalimatnya atau justru mem-block akun yang membantah tersebut.

Contoh ajaran Islam yang kerap mereka lecehkan: menggugat finalitas kenabian Muhammad SAW (mereka tidak menolak munculnya "nabi" baru sesudah Nabi Muhammad SAW), menghina hijab (mereka sebut wanita yang tetap berjilbab walau di luar masjid/majelis taklim sebagai orang bodoh), menyebut Al Quran sebagai kitab yang copy-paste dari kitab-kitab terdahulu (tanpa mereka bisa tunjukkan ayat mana yang copy paste tersebut), menyebut ajaran Islam adalah agama oplosan (ajarannya campuran dari berbagai ajaran agama), mengejek syariat Islam (ketinggalan jaman), dan sebagainya. Hal-hal ini menimbulkan keresahan dan kebingungan di kalangan ummat Islam. Karenanya perlu dicegah.

2. Menyebarluaskan ideologi SEPILIS (Sekulerisme, Pluralisme, Liberalisme).

Sekulerisme adalah sebuah paham yang menafikan Tuhan (dan ajaran agama) dalam semua urusan keduniaan manusia. Penekanannya pada kebendaan/materialisme. Paham ini beranggapan bahwa dunia dan seisinya ini (semua yang dikandungnya) sudah ada sejak dulu dan manusia bebas memanfaatkannya untuk kemakmuran hidup. Tidak ada urusannya dengan Tuhan (apalagi ajaran agama). Paham ini makin menemukan eksistensinya saat Eropa mengalami masa kegelapan di abad pertengahan. Disebut abad kegelapan karena saat itu kehidupan rakyat Eropa diatur dan dikekang oleh pihak gereja (yang dalam beberapa hal bisa lebih berkuasa daripada raja). Tekanan yang luar biasa dari pihak gereja pada akhirnya memunculkan rasa muak akan agama dan Tuhan. Maka berkembanglah sekulerisme yang memisahkan urusan agama (ketuhanan, keimanan, ibadah) dengan urusan kehidupan keduniaan manusia (tata sosial, hukum, undang-undang, ekonomi, politik). Ujung-ujungnya adalah atheisme atau pemikiran yang tidak mengakui eksistensi Tuhan.

Pluralisme adalah sebuah pemikiran mengenai kebersamaan dalam kehidupan. Menurut paham ini, setiap kita harus mau dan mampu hidup berdampingan dengan pihak atau orang lain yang berbeda (dalam hal ini adalah beda keyakinan atau iman atau agama). Kita harus mau dan mampu menerima perbedaan. Paham ini sepintas terkesan tidak ada masalah, namun ada "klausul" yaitu bahwa untuk bisa hidup berdampingan, maka kita tidak hanya dituntut untuk bisa menerima perbedaan tapi juga membenarkan keyakinan atau agama pihak lain (sekaligus juga dituntut untuk bisa jujur menerima kekurangan atau kesalahan atau kelemahan keyakinan atau ajaran agama sendiri). Paham seperti ini kelak akan berujung pada perendahan ajaran agama. Manusia akan berkesimpulan bahwa ajaran agama tidak penting. Dan akhirnya adalah Tuhan tidak penting karena tidak eksis.

Sementara liberalisme adalah sebuah paham yang prinsipnya membebaskan manusia untuk berpikir, berucap, dan bertindak apapun sesuai kehendaknya masing-masing asalkan tidak merugikan orang lain atau kepentingan umum. Menurut paham ini, tidak boleh ada pengekangan. Manusia bebas menentukan haknya sendiri. Manusia bebas berekspresi apapun yang diinginkannya. Apakah hendak menutup aurat maupun hendak telanjang. Manusia bebas, apakah mau beragama ataupun tidak. Manusia bebas, apakah mau menikah ataupun sekadar kumpul kebo. Hawa nafsu haruslah dibiarkan saja bebas. Manusia yang menganut paham ini akan menganggap ajaran agama sebagai pengekang kebebasan mengobral hawa nafsu. Agama harus ditinggalkan. Dan akhirnya berujung pada kesimpulan Tuhan tidak penting dan tidak pernah ada.

JIL sangat giat mempromosikan paham SEPILIS tersebut. Padahal pada tahun 2005 lalu, MUI (Majelis Ulama Indonesia) dalam munasnya telah memfatwakan bahwa paham SEPILIS adalah haram. JIL memaksakan untuk menyandingkan paham SEPILIS dengan Islam. Seolah-olah SEPILIS sesuai dengan ajaran Islam. Pihak yang menolak paham ini akan dicap sebagai anti toleransi, anti perbedaan, teroris, dan lain-lain.

Maka dengan demikian wajarlah muncul seruan agar #IndonesiaTanpaJIL.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline