Lihat ke Halaman Asli

Empat Karakter Utama Pemimpin Idaman

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Polah tingkah para (oknum) anggota parlemen dan pejabat pemerintahan belakangan ini terasa makin menjijikkan. Mereka sudah betul-betul tidak lagi ada rasa malu untuk memperlihatkan berbagai kebobrokan moral. Mereka mengabaikan amanat rakyat. Mereka injak-injak dan ludahi rasa keadilan masyarakat. Korupsi seolah sudah menjadi keniscayaan dalam pengelolaan negara. Korupsi sudah merasuk ke semua lini. Yang tidak korupsi justru dianggap aneh dan munafik.

Negeri ini semakin rusak dan menuju pada kebinasaan karena salah urus oleh orang-orang yang salah. Rakyat sungguh merindukan (dan sebahagian juga mengupayakan) munculnya pemimpin (di berbagai bidang) yang mampu membawa perbaikan bagi bangsa ini. Pemimpin yang sanggup memberangus praktek korupsi. Pemimpin yang bisa menenangkan rakyat dengan amal nyata, bukan dengan janji. Pemimpin yang mampu menangkap aspirasi rakyat dan memberikan apa yang terbaik untuk rakyat.

Setidaknya ada empat karakter utama pemimpin idaman rakyat yang (insya Allah) bisa membawa kebaikan dan mencegah kerusakan bagi bangsa.

1. Jujur. Ini adalah basic. Tidak bisa tidak. Ini bukan pilihan. Kejujuran adalah hal utama bagi seorang pemimpin. Jujur adalah menyampaikan kebenaran sebagaimana adanya kebenaran itu. Tidak ditambah maupun dikurangi. Jujur adalah sesuai antara isi hati, retorika ucapan, dan laku perbuatan. Jujur adalah konsistensi dalam memikirkan, menyuarakan, menyerukan, mengerjakan, mengajak, dan menegakkan kebenaran di mana saja, kapan saja, dan dalam kondisi apa saja. Kebohongan adalah beban bagi hati karena sang pembohong terus menerus mencurahkan perhatiannya, putar otak, atur strategi supaya penipuannya tidak terbuka. Sementara kejujuran akan memperluas ruang ketenangan di jiwa. Ketenangan adalah kunci dari berpikir jernih. Dari pikiran jernih inilah mampu hadir ide-ide brilian mengenai kebaikan dan tekad yang kuat untuk mewujudkannya.

2. Pintar. Yang dimaksud pintar di sini bukanlah berarti pemimpin itu harus mengetahui segala macam dan menjadi spesialis di segala macam itu. Ini jelas tidak mungkin. Pintar di sini adalah kecakapan untuk belajar (apa saja, di mana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja) secara cepat dan aktif. Hal ini meniscayakan sebuah sikap keterbukaan. Orang yang tertutup, sulit diharapkan akan memiliki kepintaran. Orang yang pintar tidak kekurangan referensi untuk menjawab berbagai persoalan maupun ketika menciptakan sebuah ide. Pemimpin harus seperti itu. Ini adalah sebuah proses terus menerus, bukan warisan atau anugerah dari langit yang turun begitu saja. Pemimpin yang bodoh akan kesulitan untuk mengambil keputusan atau cepat mengambil keputusan, tapi selalu salah dan sangat berpotensi membawa kecelakaan untuk semua.

3. Cerdik. Ini adalah kelihaian dalam memilih dan memberdayakan secara cermat dan bijak berbagai potensi yang ada dan dalam waktu yang tepat untuk mewujudkan rencana. Jujur dan pintar saja kurang cukup. Perlu kecerdikan agar kejujuran dan kepintaran lolos dari pemanfaatan oleh pihak lain untuk kepentingan negatif. Kecerdikan ini tidak ada mata kuliahnya. Ia diperoleh dari pengalaman nyata bergerak di lapangan. Ini pun proses yang terus menerus. Interaksi yang intens dengan berbagai pihak amat diperlukan untuk mengasah kecerdikan. Di parlemen ada orang-orang yang jujur dan pintar, tapi kurang cerdik, sehingga mereka kurang bisa tampil berperan membela rakyat. Kalah oleh gegap gempitanya opini yang dibangun dan digalang oleh politisi busuk yang cerdik nan licik.

4. Berani. Seorang motivator menulis, "Berani bukanlah tidak takut, melainkan bertindak walaupun takut". Kita membutuhkan pemimpin yang berani. Keberanian boleh dikata sebuah ketenangan hati untuk menampilkan ketegasan sikap dalam menghadapi sebuah kondisi, kapanpun dan di manapun. Orang penakut tidak layak diberikan amanah sebagai pemimpin, karena ketakutannya itu akan menghambat gerak langkahnya. Akibatnya dia hanya akan menjadi manusia teori. Pembuat ide-ide belaka, tapi tidak pernah mewujudkannya. Keberanian ini bisa ditumbuh kembangkan melalui latihan setiap saat. Pemimpin yang berani akan disegani. Ia punya wibawa dan kharisma. Ia juga tampil percaya diri untuk membela kepentingan rakyat.

Selain empat hal di atas, tentu masih ada yang lainnya. Namun empat hal itu adalah yang mendasar (utama). Semoga kita, bangsa Indonesia, bisa memiliki pemimpin yang memiliki empat karakter utama tadi. Tugas kita sebagai rakyat adalah menciptakan suasana yang kondusif bagi munculnya pemimpin itu, karena pemimpin berasal dari rakyat. Jika bukan kita, mungkin kelak anak cucu keturunan kita yang kelak bisa tampil sebagai pemimpin. Wallahu a'lam bisshawab.

Tomy Saleh. Kalibata. 26 Januari 2011. 15:35WIB

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline