Pernah beberapa kali mendengar orang berujar bahwa manusia cenderung melekat pada handphone miliknya daripada Kitab Suci yang diyakininya. Terkesan tidak ada yang salah namun dalam perspektif logika maka hal tersebut termasuk argumentum ad populum. Terjadi karena satu proposisi dianggap benar ketika komunal orang menganggap benar juga. Orang menjadi sadar akan pemikiran ini dan memang betul kita cenderung jauh dari Tuhan sehingga melakukan apapun merasa nyama dengan handphone.
Artinya ketika seseorang mencoba melepaskan diri dari handphone maka itu bisa terjadi tetapi peluangnya kecil. Hal yang dapat dilakukan adalah menguranginya. Kenapa peluangnya kecil? mari kita ambil contoh bahwa seseorang tidak menghubungi seseorang via handphone namun ia melakukan pencarian berita, ia juga mengawasi rumahnya yang CCTV-nya terkoneksi langsung dengan handphone atau dalam melakukan transaksi apapun mengarah pada penggunaan QR. Lingkungan memaksa seseorang untuk tidak bisa lepas dari handphone walaupun diri kita menolaknya. Contoh paling faktual ketika terjadi Covid-19, beribadah pun via handphone dan terjadi perubahan paradigma bahwa inilah fungsi handphone yang sebenarnya.
Handphone tidak dapat dilarang secara mutlak namun pembatasan dapat dilakukan dengan perintah penguasa. Penguasa dalam hal ini tidak selalu identik dengan entitas negara namun siapa yang berkuasa atas diri kita. Misalnya di sekolah maka penguasa adalah kepala sekolah, ia berhak melakukan larangan penggunaan handphone atau melakukan pemutusan sinyal dengan alasan rasional. Tentu harus ada dampak positif bagi siswa, artinya terdapat keuntungan antara siswa dan guru. Perilaku ini adalah cara terbaik karena saya mengalaminya sekitar 15 tahun yang lalu, dimana ada gereja yang melakukan pemutusan sinyal di dalam ruangan. Seingat saya, handphone pada saat itu tidak secanggih saat ini, memang sempat merasa kaget namun lama kelamaan menjadi terbiasa. Tetapi perusak sinyal tersebut tidak berlangsung lama. Poin disini adalah paksaan dan ini lumrah. Manusia sebagai makhluk hidup maka secara alamiah akan menunjukkan sikap patuhnya ketika terjadi pada diri mereka yang tidak dapat memenuhi keinginannya.
Jalan keluar terakhir yaitu penyediaan akan fasilitas publik memadai. Sebagai contoh, kita dengan mudahnya melihat setop kontak listrik misalnya di mall namun ruang doa hanya ada di lantai-lantai tertentu. Kebutuhan akan handphone harus menjadi perhatian setiap orang karena tidak sekadar mencari informasi namun banyak kewajiban-kewaijban yang belum dilakukan pengguna handphone untuk memperoleh haknya. Contoh lainnya ketika seseorang yang sudah lanjut usia tidak menggunakan handphone maka pertanyaan yang muncul "apakah ia betul-betul lepas dari handphone?". Ternyata tidak karena ketika butuh pergi ke suatu tempat maka akan menggunakan jasa transportasi online.
Mungkin manusia tidak pakai handphone lagi ketika terjadi serangan alien, skenario seperti di film The 100 atau adanya hari kiamat yang memunculkan bumi baru. Adanya peradaban baru menjadi manusia baru juga. Dalam hal ini, semuanya kembali pada diri masing-masing untuk saling mengingatkan pada lingkup keluarga, tempat kerja, lingkup tempat tinggal atau memang benar-benar peduli atas pengalaman yang dialaminya. Manusia harus saling mengingatkan agar tetap bijaksa menggunakan handphone. Sebagai penutup terakhir, apakah pihak Kompasiana bisa menebak - saya menulis opini ini menggunakan handphone atau laptop hehe...
Ayo gunakan handphone dengan bijaksana dan batasi penggunaannya karena kesehatan itu untuk diri kita sendiri. Jadi semuanya ada masanya...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H