Pendahuluan
Di dalam kegiatan menata negara dibutuhkan kepemimpinan yang memiliki perspektif paradigma berbeda. Kegiatan menata negara yaitu menjalankan kekuasaan melalui pemisahan kekuasaan dalam berbagai lembaga negara. Secara teori ilmu hukum, pemisahan kekuasan merupakan alternatif yang diikuti banyak negara berasal dari perancsi untuk mengatasi kekuasaan mutlak. Kekuasaan raja dipisah menjadi kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudisial sehingga terdapat pemenuhan legitimasi dari masyarakat.[1]
Pemisahan kekuasaan setelah reformasi cenderung pada penyempurnaan karena tujuan bernegara yaitu menjaga konsistensi kelembagaan negara yang ada. Menurut KC Wheare bahwa perubahan kekuasaan dalam konstitusi pada prinsipnya adalah produk resultante berdasarkan situasi politik, sosial, dan ekonomi pada saat dibuat.[2] Pemisahan kekuasaan identik dengan menjaga etika dari masing-masing lembaga negara sehingga saling melengkapi demi tujuan hukum tertinggi yaitu keadilan hukum. Kekuasaan sesungguhnya ada pada semua aspek kehidupan masyarakat seperti kuasa orang tua pada anaknya, kuasa guru atas murid-muridnya, kuasa ketua suatu perkumpulan atas anggota-anggotanya dan lain sebagainya.[3]
Ketika lembaga negara telah menjadi stabil maka peranan orang muda dibutuhkan. Mengacu pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan termaktub bahwa "Pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun". Definisi demikian menunjukkan bahwa pembatasan sangatlah penting dan di Pasal 1 angka 2 termaktub juga "kepemudaan adalah berbagai hal yang berkaitan dengan potensi, tanggung jawab, hak, karakter, kapasitas, aktualisasi diri, dan cita-cita pemuda". Bunyi pasal demikian harus didukung dengan etika yang dimiliki oleh pemuda.
Pembahasan
Ungkapan homo homini lupus sebetulnya bisa menjadi pijakan para pemuda dalam menjalakan etika politik. Ketika negara ingin pemisahan kekuasaan menjadi pembagian kekuasan berjalan baik maka predasi pemuda dibutuhkan. Etika dalam konteks hukum seringkali dikaitkan dengan kepatuhan hukum. Bagaimana seseorang bisa menjadi subjek hukum yang beretika ketika norma hukum selalu dikesampingkan. Persetujuan dalam menghasilkan norma hukum merupakan alternatif yang diberikan negara agar siapapun patuh. Pihak yang terkait perlu secara cermat memberikan hasil analisanya akan regulasi dan kebijakan sehingga muncul kepatuhan yang baik.[4]
Pemuda harus memiliki etika secara alamiah, artinya ketika terjadi secara alamiah maka etika menjadi murni sehingga memberikan dampak yang baik. Seperti yang dikatakan Durbin bahwa pemimpin sebagai individu yang menunjukkan semangat, hasrat, dan memberi inspirasi untuk kinerja yang lebih baik, bergantung pada perilaku dan tindakan yang tepat, bukan hanya ciri pribadi dan keterampilan.[5] Etika secara alamiah dapat memberikan pemahaman yang baik bagi lingkungan sekitar akan hukum itu sendiri dan pada akhirnya terjadi dukungan kuat untuk menunjukkan kekuasaan. Dalam pemenuhan ini, pemuda menjadi lebih peduli karena apa yang terbentuk dalam dirinya menjadikan tingkat kepatuhan akan hukum menjadi lebih tinggi.
Hal pendukung lainnya yaitu kemudahan dalam berpolitik menjadikan etika tidak bisa dipegang secara utuh. Etika politik dan etika hukum secara ketatanegaraan merupakan hal berbeda. Etika politik tidak lepas dari prinsip-prinsip moral yang ada dalam diri seseorang, yang mengajarkan langsung tentang bagaimana orang seharusnya. Ia dimaknai sebagai refleksi sistematis mengenai pendapat dan istilah moral dimana etika merupakan upaya manusia untuk beradaptasi. Tindakan terhadap aturan yang berlaku di suatu daerah. Kepemimpinan tidak terlepas dari bagaimana seorang individu mempunyai nilai-nilai moral yang baik, kepemimpinannya untuk melaksanakan kebijakan dan program yang lebih baik dari sebelumnya.[6] Sedangkan etika hukum merupakan bagian dari ilmu hukum yang sifatnya sui generis. Kekhususan yang membedakan dengan ilmu lainnya sehingga ilmu hukum adalah ilmu hukum itu sendiri dengan sifat preskriptif dan terapan.
Adanya paksaan menjadikan etika hukum mengarah pada keterikatan sanksi yang mengikutinya. Nilai teori tersebut terletak pada praktik-praktik yang ada (bahkan yang diratifikasi oleh undang-undang) untuk mempertanyakan asumsi-asumsi penguasa dan bergulat dengan apa yang seharusnya diperbolehkan secara ideal.[7] Butuh penyatuan keilmuan karena hukum tanpa politik tidak dapat dijalankan begitu juga sebaliknya. Terjadi keberuntungan karena adanya politik membuat pelaksanaan norma hukum menjadi lebih luwes. Peolitik pada akhirnya bisa mempengaruhi penguasa hanya saja harus dibatasi dengan etika. Seperti contohnya dalam Pasal 24C ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) termaktub bahwa "Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden". Sidang Mahkamah Konstitusi yang terjadi setelah pemilihan umum tahun 2024 menunjukkan adanya pergulatan etika politik dann etika hukum didalamnya. Kekuasaan hakim yang merdeka untuk memberikan yurisprudensi menjadi etrhambat karena ada kekuasaan non yudisial didalamnya. Lantas etika politik menjadi ajang pembuktian untuk mengalahkan etika hukum.