Lihat ke Halaman Asli

Dilema Perempuan Kita

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Ada anak kecil. Ada anak kecil di sana”, teriak seorang penyelamat panik. Suara itu memompa lagi semangat tim yang hampir padam. Sudah cukup lama mereka berdiri di atas reruntuhan tanpa menemukan apa-apa, kecuali mayat seorang perempuan muda dengan posisi yang agak aneh.

Kakinya agak menekuk seperti sedang berlutut. Kedua tangannya memegang sebuah benda yang dibuat seperlunya menjadi suatu struktur yang mampu menahan puing-puing. Badannya yang condong ke depan, tertindih reruntuhan rumah yang menghantam tepat di punggung dan kepalanya. Tak perlu didebat lagi, dia mati karena itu.

Melalui celah-celah sempit, tim penyelamat menyingkirkan bongkahan satu-satu. Perlahan, posisi perempuan itu distabilkan. Dan benar saja, di bawah mayatnya yang hampir saja membusuk itu ada kehidupan. Bayi laki-laki berumur 3 bulan dibungkus dengan selimut bermotif bunga sedang tidur pulas.

Di dalam selimut ada telepon seluler yang berisi pesan terakhirnya yang singkat, “jika kau selamat, kau harus ingat bahwa aku sangat mencintaimu”.

Pilar kelima

Iya, cerita itu terjadi di Jepang saat Tsunami yang lalu. Itu kisah nyata yang sudah pasti banyak yang tahu. Tapi, perlu untuk dicuplik agar terus diingat, bahwa betapa berharganya perempuan atas sebuah kehidupan. Ia tidak terbatas menjadi “hiasan dunia” yang  diciptakan cantik dan memesona bagi para lelaki. Namun lebih dari itu, ia dipilih dan padanya dipercayakan sebuah masa depan kehidupan walau harus ditukar dengan nyawanya sendiri.

Padanya terberi sebuah naluri yang mampu mewariskan sifat-sifat tinggi yang menjadi perangkat lunak sebuah peradaban: kasih sayang, cinta, kejujuran, dan kedamaian. Betapa besarnya tanggungjawab yang dititipkan padanya itu, sehingga sangat layak memunculkan sebuah keyakinan bahwa “jika perempuan rusak, maka rusaklah masa depan sebuah bangsa/negara”.

Jika (elit) bangsa ini sedang bersusah payah membangun pilar-pilarnya yang sedang luluh lantak, maka perempuan adalah pilar kelima yang tidak boleh lagi hancur.

Ibu masa depan

Tapi, yang kali ini, sungguh suatu tragedi. Postur perempuan kita makin diuji. Belum lagi harapan kehidupan generasi masa depan bangsa ini terlepas dari ancaman idiom-idiom westernism dan “sampah” urbanisasi yang makin merobohkan nilai-nilai luhur keluarga, kita justru dikejutkan oleh hiruk-pikuk kasus perempuan-perempuan yang terlibat korupsi yang makin masif.

Ini menakutkan. Karena, sekali lagi, mereka adalah perempuan-perempuan yang menjadi benteng terakhir bangsa ini. Mereka adalah ibu dari anak-anak kita yang sudah sepantasnya mewarisi sifat-sifat tinggi yang diikatkan padanya. Lebih dari itu, mereka adalah manusia-manusia pilihan yang dimintakan pengorbanannya demi masa depan yang lebih baik dan beradab.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline