Lihat ke Halaman Asli

Yang Galau Ahok atau PDIP?

Diperbarui: 10 Juni 2016   15:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

umum PDIP Megawati hadir ketika Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) melantik Djarot Saiful Hidayat yang mengantikannya menjadi wakil gubenur di Balaikota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Kamis (17/12/2014). (Tribunnews)

Beberapa elite PDIP membuat pernyataan dan kesimpulan yang subjektif bahwa Ahok galau dan tidak pede untuk maju dalam pemilihan Gubernur DKI 2017 melalui jalur independen. Kesimpulan prematur hanya berdasarkan beberapa candaan Ahok tentang kemungkinan "rujuk" dengan Djarot dalam PilGub DKI 2017. Padahal, secara eksplisit dan secara crystal clear a.k.a cetho welo-welo, Ahok selalu menyatakan bahwa dia akan tetap maju melalui jalur independen. Hal yang sama ditegaskan lagi kepada Megawati Soekarno Putri, Ketua UMUM DPP PDIP ketika Megawati mengatakan bahwa Ahok dan Djarot masih cocok berpasangan sebagai DKI 1 dan DKI 2 di Pilgub DKI 2017.

Jadi sebenarnya siapa yang tidak pede? Jsutru terlihat bahwa PDIP yang tidak pede terbukti dengan adanya beberapa elite PDIP yang mengajak Ahok untuk kembali ke "kandang"-nya, dalam artian kembali ke PDIP dan maju melalui jalur partai. Pernyataan Aria Bima dan Charles Honoris menunjukkan bahwa di intenal PDIP masih galau karena memikirkan kemungkinan kalah telak dari Ahok bila tetap mengajukan calon dari bakal calon yang sudah mengikuti audisi dan seleksi di PDIP. Tidak bisa dipungkiri bahwa elektabilitas Ahok masih sangat moncer dibanding semua kandidat balon gubernur yang mendaftar melaui PDIP.

Adanya spanduk dukungan untuk Ahok dan Djarot untuk berpasangan dalam pilgub DKI 2017 bisa dilihat sebagai "test the water" apakah wacana tersebut masih bisa menggoda Ahok untuk kembali ke rencana awalnya yang hendak berpasangan dengan Djarot tapi tidak mendapat restu dari PDIP.  Buktinya Ahok tidak tergoda dan memerintahkan agar spanduk-spanduk tersebut dicopot dan Ahok tetap "keukeuh" memilih jalur independen. Dengan alasan bahwa ingin menghargai keringat dari kerja keras Teman Ahok (TA) yang sudah mengumpulkan hampir sejuta KPT dukungan, juga untuk menunjukkan tidak mencla-mencle dan bukti kekonsistenan Ahok.

Selain digoda untuk kembali ke jalur partai, Ahok juga dihadang dengan revisi UU PIlkada yang mengharuskan verifikasi faktual dan mensyaratkan pendukung Ahok harus bukan pemilih pemula. Aturan yang benar-benar aneh, yang dibuat tidak lain hanya ingin menjegal agar Ahok tidak bisa maju dengan jalur independen. Karena kalau sampai Ahok bisa maju melalui jalur independen dan calon dari jalur partai kalah (kemungkinan besar, 85%), maka itu menjadi bukti partai sudah kehilangan kepercayaan masyarakat.

Mengapa tiba-tiba ada wacana untuk memanggil Ahok kembali ke "kandang" dan PDIP seperti membuka pintu untuk Ahok kembali berapasangan dengan Djarot? Tidak lain karena PDIP tidak ingin kehilangan muka dan malu bila calon hasil seleksi (Yusril dkk.) dikalahkan calon dari jalur independen, apalagi notabene PDIP memiliki 28 kursi di DPRD DKI, pemilik kursi terbesar. Tanpa koalisi pun sudah memenuhi syarat untuk mengajukan calon sendiri. Siapa suruh dulu jual mahal ketika Ahok menawarkan untuk memberikan izin kepada Djarot menjadi calon DKI 2 dan PDIP menolak untuk segera memberikan izin. 

Akhirnya, Ahok langsung mengambil keputusan untuk maju melalui jalur independen dengan dukungan TA. Jadi ingat teman saya yang pernah melamar seorang gadis, tapi ortu si gadis jual mahal, padahal teman saya dan gadis tersebut sudah cocok, hanya mungkin ortu si gadis masih pengen mendapat sesuatu yang lebih sehingga tidak langsung menyetujui lamaran teman saya. Karena tidak mau digantung, teman saya akhirnya jadian dengan gadis lain, yang juga suka kepada teman saya, tidak kalah cantik dan pintar, tapi lebih bisa memberikan jawaban yang pasti. 

Lalu ketika teman saya sudah hampir menikah dengan gadis kedua, tiba-tiba ortu gadis pertama mencoba merayu agar teman saya kembali ke anak gadisnya. Sebagai laki-laki yang punya prinsip dan tidak oportunis serta menjaga komitmen, teman saya mengatakan, "Saya sudah berkomitmen dengan gadis lain dan komitemen tidak mungkin saya batalkan." Kisah teman saya mirip-mirip kasus Ahok, PDIP, dan TA. PDIP adalah ortu gadis pertama dan TA adalah gadis kedua.

Jika benar Partai Golkar juga akan mendukung Ahok, berarti jumlah kursi partai pendukung Ahok bisa mencapai 24 kursi (10 kursi Hanura, 5 kursi Nasdem, dan 9 kursi Golkar), sudah melebihi batas minimal untuk mengusung satu pasangan calon dalam Pilgub DKI 2017. Artinya, jika ternyata Ahok terganjal oleh aturan administrasi yang diatur dalam revisi UU Pilkada, bisa jadi Ahok akan diusung oleh ketiga partai tadi dan menang dalam Pilgub DKI 2017.

Kalau sampai itu terjadi, akan semakin lengkaplah penderitaan PDIP. Partai dengan kursi terbesar tapi menyia-nyiakan "lamaran" Ahok dan akhirnya justru partai lain yang mendapat manfaat kemenangan Ahok. 

Kalau partai-partai bisa berkoalisi untuk mencukupkan kursi sebagai syarat pencalonan cagub dan cawagub, seharusnya jalur independen juga bisa berkoalisi dengan partai, jumlah dukungan KTP dan jumlah kursi bisa diperhitungkan, misalnya satu kursi setara dengan 100.000 dukungan KTP.

Siapa yang galau dan gak pede?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline