Lihat ke Halaman Asli

Internal adalah Kunci DPD Didengar Rakyat

Diperbarui: 2 Juli 2015   12:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Apa yang ada di benak Anda jika mendengar kata DPD? Pernahkan Anda menyimak sebuah tulisan di gedung MPR/DPR/DPD di Jakarta, bahwa terdapat Dewan Perwakilan Daerah di tulisna paling bawah? 

Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) memang masih terkesan asing di sebagian telinga orang Indonesia, bahkan terkesan disamakan dengan DPR ataupun Pemda. Namun perlu diketahui, bahwa DPD telah ada sejak 1 Oktober 2004. Sebelum tahun 2004, DPD memang disebut dengan istilah Utusan Daerah yang merupakan lembaga tinggi negara dimana anggotanya dari perwakilan setiap propinsi yang dipilih melalui Pemilu.

Dengan kelahiran DPD di Indonesia 11 tahun silam, bertujuan untuk mereformasi struktur parlemen Indonesia menjadi sistem perwakilan bikameral dimana terdiri atas DPR sebagai representasi politik dan DPD sebagai representasi regional. Dengan adanya sistem parlemen bikameral, maka proses legilasi dapat diselenggarakan dengan sistem double check (check and balances). DPD diharapkan mampu memperbaiki hubungan kerja dan penyaluran kepentingan antara pusat dan daerah, sehingga kesenjangan dapat diminimalisir. Hal ini didasari dari luasnya daerah Indonesia dengan distribusi penduduk yang tidak merata antar daerah.  

Kehadiran DPD perlu dicermati bahwa DPD adlaah representasi wilayah propinsi sehingga jumlah anggota DPD dari setiap propinsi ada sebanyak 4 orang. Sehingga setiap propinsi di Indonesia akan mendapatkan kursi DPD sebanyak 4 kursi tanpa memandang luas daerah maupun jumlah kepadatan penduduknya. Di samping itu, apabila anggota DPR berasal dari partai, berbeda dengan anggota DPD yang berasal dari non partisan independen yang bertujuan untuk menyuarakan daerah propinsinya masing-masing. 

Dalam praktek kerjanya, seakan DPD tidak mempunya 'gigi' karena adanya keterbatasan wewenang. Seperti misalnya dalam UU Susduk pasal 42, yang membatasi fungsi DPD untuk dapat terlibat dalam proses pembuatan UU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, penggabungan daerah, pengelolaan SDA dan sumber daya ekonomi lainnya, serta UU yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. 

Inilah saatnya DPD unjuk 'gigi', saatnya DPD didengar. Kumandangkan DPD sehingga seluruh rakyat Indonesia paham dan mengenal DPD. Lahirnya DPD RI juga menjadi suatu semangat masyarakat Indonesia di daerah yang mana selama ini daerahnya seakan 'tenggelam' di antara kemodernitasan bangunan ibukota. Ada secercah harapan akan kepentingna daerahnya dapat diangkat ke nasional sehingga terjadilah pemerataan pembangunan yang berujung pada pemerataan ekonomi. 

Sudah 11 tahun perjalan DPD, sudah saatnya bagi DPD didengar masyarakat Indonesia. Rakyat perlu dirangkul untuk dilakukan pemahaman mengenai fungsi dari kehadiran DPD di Indonesia. Membangun komunikasi dengan rakyat sangat mutlak diperlukan naik melalui media online maupun offline. Dalam hal ini perlu diketahui bahwa sangat sedikit masyarakat yang 'ngeh' soal dan bahasa politik. Penyederhanaan dan menggunakan bahasa awam tentu akan sangat menguntungkan bagi rakyat untuk mengenal lebih dalma mengenai DPD. Tidak hanya sekedar memasang banner atau spanduk berisi foto, namun dilengkapi dengan informasi apa itu sesungguhnya DPD. 

DPD juga harus punya 'taring' dalam hal bersuara dan mengambil keputusan sehingga DPD akan menjadi suatu lembaga yang independen dan mencerminkan propinsi. 

Semoga DPD dapat selalu merepresentasikan propinsinya masing-masing sehingga didapatkan pemerataan dan mengatasi ketimpangan. Kita semua adalah NKRI, yang telah tersatukan dalam Pancasila. 

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline