Lihat ke Halaman Asli

Datang Pagi Demi Sebuah Remunerasi

Diperbarui: 18 Juni 2015   05:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Defisit anggaran adalah salah satu masalah klasik yang dihadapi oleh negara ini. Bukan hanya di Indonesia, negara lain pun juga sering mengalami hal ini. Secara harfiah defisit terjadi karena pengeluaran pemerintah kita lebih besar dari pendapatannya. Pada akhir tahun 2013, menurut data BPS negara kita mengalamai defisit terbesar dalam sejarah yaitu minus 67 Triliun.

Hebatnya lagi, menurut data Kementerian Perdagangan, negara ini juga mengalami keadaan dimana ekspor netto disajikan dalam tanda kurung alias impor lebih besar daripada ekspor. Ini yang biasa kita kenal dengan defisit neraca perdagangan.

Kok serba defisit ya? Bisa jadi salah satunya ialah karena PNS sebagai mesin birokrasi mengalami defisit kesadaran. Kesadaran akan apa? Kesadaran bahwa yang kita “makan” adalah uang rakyat! Dalam Nota Keuangan yang dibacakan SBY tahun kemaren, anggaran untuk Belanja Pegawai 2014 ialah sebesar 276 Triliun. Nah dengan duit segitu, Indonesia bisa bikin 3 buah Bandara Internasional sekelas Dubai Int’l Airport. Mantep kan. Itu baru belanja pegawai lho.

Untuk apaan sih duit segitu banyak? Katanya sih untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam kerangka Reformasi Birokrasi, baik dalam memperbaiki dan menjaga kesejahteraan pegawai pemerintah yang berdasarkan kinerja, maupun dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik.

Poinnya ada 2, kesejahteraan berdasarkan kinerja dan peningkatan pelayanan publik. Nah oleh karena itu, seyogyanya para pemakan uang rakyat seperti saya harus menunjukkan kinerja optimal kepada rakyatnya. Tapi yang terjadi ialah remunerasi baru sekedar memacu untuk datang pagi. Kerja ga kerja ya dibayar sama, cukup mengenaskan memang.

Sejatinya yang namanya Tunjangan Kinerja ialah menilai kinerja. Bukan menilai kerajinan presensi. Berbondong bondong nempelin jempol dengan harapan remunerasi tanpa potongan. Menurut pemikiran sederhana saya, tingkat kehadiran seharusnya memotong komponen gaji pokok bukan tunjangan kinerja. Karena PNS digaji apabila masuk kerja. Sedangkan remunerasi diberikan apabila dapat mencapai target kinerja. Dua hal tersebut jelas sangat berbeda, PNS yang tidak melakukan pekerjaan di kantornya tentu tidak mendapatkan Tunjangan Kinerja karena presensi mereka telah dibayar lunas melalui mekanisme Gaji Pokok.

Jika Tunkin untuk membayar kehadiran, lalu Gaji untuk membayar apa? Bonus gitu? Terbalik balik kan jadinya. Saya rasa pemberlakuan SKP secepatnya harus dilakukan. Nantinya, atasan mempunyai wewenang penuh dalam pemberian Tunkin. Subjektif atau Objektif? Hanya atasannya yang tau, toh atasan yang bertanggung jawab atas pelaksanaan semua Tupoksi yang ada. Tetapi setidaknya itu tidak melukai hati rakyat yang uangnya kita makan hanya karena rajin datang pagi.

Mau bilang saya PNS munafik? Oh ya silahkan. Dengan kesadaran penuh atas penggunaan uang rakyat, sudah sepatutnya mereka tahu untuk apa uang mereka dibelanjakan. Sekarang kan jamannya Keterbukaan Informasi Publik, untuk apa ditutup tutupi. Terlebih saya bekerja pada Kementerian yang melahirkan UU tersebut, rasanya semuanya memang harus diceritakan pada rakyat. Berhubung medianya cuma blog ini, ya akhirnya nulis disini aja.

Udah ga jamannya lagi PNS duduk santai di kantor. Jangan malu maluin SBY yang udah bilang bahwa kesejahteraan PNS ditingkatkan berdasarkan kinerjanya. Hilangkan mindset Datang Pagi Untuk Sebuah Remunerasi.

Mau sejahtera? Tunjukkan kinerja. Malu makan uang rakyat? Silakan keluar dari PNS, gampang kan




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline